Senin, 23 Januari 2012

@ Hati vs Nash

Suara hati memang sangat penting. Pendapat apapun yang disampaikan orang terhadap suatu perkara, suara hati tetap harus lebih diutamakan. Karena sejatinya, dialah yang paling jernih menentukan langkah yang benar atau salah.

Ada perkataan Imam Nawawi yang menarik dalam hal ini. “Jika engkau menerima hadiah dari seorang yang hartanya lebih banyak berasal dari yang haram, dan hatimu ragu-ragu untuk memakannya karena ketidakjelasan antara halal dan haramnya makanan tersebut. Kemudian ada seorang mufti (pemberi fatwa) memberi fatwa halal dan tidak melarang memakannya, maka status syubhat dari makanan itu tetap tidak hilang dengan fatwa tersebut." Artinya, meninggalkan makanan tersebut lebih utama dan lebih menenangkan hati, ketimbang mengikuti fatwa namun membuat hati gelisah. Begitulah istimewanya hati.

Apa alasannya? Disebutkan dalam kitab Al-Wafi yang menjelaskan makna hadits Rasulullah dan keterangan Imam Nawawi itu, segala sesuatu yang membawa ketidaktenangan hati adalah dosa, meskipun ada fatwa yang menyebutkannya bukan dosa. Karena para mufti mengeluarkan fatwa berdasarkan masalah yang tampak, bukan masalah yang bersifat batin. Batin seseorang – yang mendapatkan cahaya Allah dalam hatinya – lebih diketahui oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. (41-Wafi, 195).

Namun perlu diingat, bahwa penjelasan di atas tidak berarti bahwa apapun suara hati harus dituruti. Tidak selamanya ungkapan hati menjadi pembenaran atas segala perkara. Hati bisa dimintakan fatwa dalam permasalahan yang bersifat umum dan mungkin tidak dijelaskan secara detail perbedaan dan batasannya dalam nash-nash al-Qur’an dan sunnah. Dengan kata lain, suara hati tidak boleh mengalahkan petunjuk dalil yang jelas tertera dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Misalnya saja dalam kasus bolehnya berbuka puasa bagi musafir dan orang yang sakit, bolehnya mengqasar – memperpendek jumlah raka’at – shalat dalam perjalanan, dan sebagainya, yang berdiri di atas dalil syar’i yang jelas. “Bila ada fatwa yang jelas berlandaskan dalil syar’i maka wajib setiap muslim untuk mengutamakannya, meskipun hal itu tidak membuat hatinya puas," demikian dijelaskan dalam AI-Wafi.

Allah swt berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu pikirkan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa: 65)

Ketundukan dan ketaatan menerima ketentuan Allah yang telah jelas, tetap mendapat kedudukan lebih tinggi dari sekedar fatwa hati. Di sini, hatilah yang justeru harus tunduk pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Sama halnya ketika Rasulullah saw meminta para sahabat mencukur rambut dan memotong hewan kurban setelah perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, sebagian sahabat berhenti dan enggan melakukan perintah Rasul. Tapi, berkat keikhlasan dan kebersihan hati mereka juga, akhirnya para sahabat menerima perintah Rasulullah dengan lapang dada. Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36).

Wallahu a’lam bishawab.

@ Profil Murabbi


MUQODDIMAH
 
Sudah menjadi hal yang lazim bagi setiap tugas atau pekerjaan yang akan dilaksanakan oleh seseorang. Harus adanya kesiapan dan persiapan terlebih dahulu. Sebagai contoh membangun sebuah rumah tidak mungkin bisa terlaksana kecuali ada ahli bangunan yang memiliki pengetahuan yang lengkap tentang semua permasalahan yang terkait dengan bangunan. Demikian pula membangun manusia dengan proses tarbiyah membutuhkan murobbi-murobbi profesional.

Mengawal proses tarbiyah adalah pekerjaan yang sangat berat lagi tidak mudah, karena tarbiyah berarti mempersiapkan manusia dengan membentuk dan memformatnya menjadi orang yang memiliki syakhsyiah muslimah da’iah (kepribadian muslim) setelah menghilangkan potensi negatif dan mengembangkan potensi positif pada dirinya. 

Tarbiyah berarti berinteraksi dengan manusia, makhluk yang memiliki banyak dimensi dan permasalahan yang kompleks. Orang yang berinteraksi dengan makhluk selain manusia dengan mudah dapat menundukkan dan mengendalikannya namun berinteraksi dengan manusia tidak dapat disamakan dengan berinteraksi dengan binatang atau makhluk lainnya. Oleh karena itu tidak semua orang dapat mentarbiyah, bahkan orang yang sudah memiliki pemahaman yang bagus, latar belakang ilmiah yang memadai, kemampuan berbicara dan kemampuan berdialog yang baik sekalipun belum cukup untuk menjadi murobbi sukses.
Mengingat mentarbiyah manusia bukan pekerjaan yang ringan maka para murobbi dituntut untuk terus melakukan peningkatan kualitas diri agar menjadi murobbi yang profesional.

DEFINISI MUROBBI
 
Murobbi adalah orang yang melaksanakan dan mengawal proses tarbiyah, dengan fokus kerjanya pada pembentukam pribadi muslim solih muslih, yang memperhatikan aspek pemeliharaan [ar-ria’yah], pengembangan [at-tanmiah] dan pengarahan [at-taujih] serta pemberdayaan [at-tauzhif].

FUNGSI MUROBBI DI DALAM AL-QUR’AN
 
Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menjelaskan fungsi murobbi, seperti di dalam surat Al-Baqoroh ayat 151, Ali Imron ayat 164 dan Al-Jumu’ah ayat 2. Di dalam surat Al-Baqoroh ayat 151 Allah SWT. berfirman, artinya
“Sebagaimana Kami telah utus kepada kamu seorang rasul (Muhammad) membacakan kepadamu ayat-ayat Kami, membersihkan jiwa-jiwa kamu, mengajarkan kepada kamu al-kitab dan al-hikmah dan mengajarkan kepada kamu apa-apa yang kamu belum mengetahuinya”
.

Di dalam ayat ini ada 3 poin penting yaitu;
Rosul diutus kepada ummatnya sebagai murobbi (kama arsalna fikum rosulan minkum). Rosul dalam melaksanakan fungsi tarbiyah dibekali manhaj dan penguasaannya yang benar
dan utuh (yatlu ‘alaikum ayatina).
Proses tarbiyah yang dilakukan rosul memperhatikan 3 aspek penting yaitu;
a. Mensucikan jiwa (wayuzakkikum) agar terbentuknya ruhiyah ma’nawiah (mentalitas
sepiritual).
b. Mengajarkan ilmu (wayu’allimukumul kitaba walhikmata) agar terbentuknya fikriah
tsaqofiah
(wawasan intelektual)
c. Mengajarkan cara beramal (wayu’allimukum malam takunu ta’lamun) agar terbentuknya amaliah harokiyah
(amal dan harokah).

Jika kita perhatikan ayat di atas, tazkiatun nafs (pembersihan jiwa), menjadi skala prioritas dalam proses tarbiyah sebelum memberikan wawasan intelektualitas dan berbagai aktivitas, karena perubahan dan perbaikan manusia harus dimulai dari perubahan dan perbaikan jiwa sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-Ra’d ayat 11, artinya;
"sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu merubah keadaan dirinya”
.

walaupun begitu murobbi tidak boleh mengabaikan sisi-sisi yang lainnya yaitu sisi intelektualitas dan aktivitas secara seirnbang dan berkesinambungan.

FUNGSI MUROBBI DALAM MEJALANKAN PROSES TARBIYAH

Murobbi dalam melaksanakan proses tarbiyah atas mutarobbi berfungsi sebagai;
1. Walid (orang tua) dalam hubungan emosional.
2. Syaikh (bapak spiritual) dalam tarbiyah ruhiyah
3. Ustadz (guru) dalam mengajarkan ilmu
4. Qoid (pemimpin) dalam kebijakan umum da’wah.
Agar fungsi-fungsi ini dapat di perankan oleh murobbi maka murobbi dituntut untuk memenuhi kriteria dan sifat-sifat murobbi sukses.

KRITERIA DAN SIFAT-SIFAT MUROBBI SUKSES
 
Diantara kriteria dan sifat-sifat murobbi sukses sebagai berikut;
1. Memiliki ilmu.
Ilmu yang harus dimiliki seorang murobbi meliputi banyak cabang ilmu pengetahuan, diantaranya:
a. Ilmu syar’i; salah satu tujuan tarbiyah dalam islam menjadikan manusia agar beribadah kepada Allah. Ibadah baru akan tercapai hanya dengan ilmu syar’i. Yang dimaksud dengan ilmu syar’i di sini tidak berarti bahwa seorang murobbi harus alim di bidang ilmu syar’i atau sepesialis di bidang ulum syar’iah akan tetapi ilmu syar’i yang harus dimiliki seorang murobbi adalah ilmu syar’i yang dengannya ia mampu membaca, membahas dan mempersiapkan tema-tema syar’i serta memiliki ilmu-ilmu dasar yang kemudian ia dapat mengembangkan potensi syar’inya dengan semangat belajar.
b. Ilmu pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhannya sebagai murobbi tentang situasi dan kondisi zaman dan masyarakatnya.
c. Psikologi, seperti karakter manusia sesuai dengai usianya; anak-ariak, remaja, dan orang dewasa, tentang motivasi naluri dan potensi manusia serta membaca tulisan-tulisan dan kajian-kajian tentang kelompok masyarakat yang dibutuhkan dalam proses tarbiyah. Ini tidak berarti seorang murobbi harus psikolog atau ahli di bidang ilmu pendidikan, akan tetapi yang diperlukan murobbi adalah dasar-dasar umum ilmu jiwa dan memiliki kemampuan memahami hasil kajian dan penelitian di bidang ini.
d. Mengetahui kesiapan, kemampuan dan potensi mutarobbi, dalam hal ini Rasul SAW adalah murobbi yang sangat tahu tentang kondisi, potensi, kesiapan dan kemampuan mutarobbi, sebagai contoh ketika Rasul memberikan sarannya kepada Abu Dzar al-Gifari di saat ia minta jabatan kepada Rasul dalam sabdanya ’Wahai Abu Dzar saya lihat kamu dalam hal ini lemah, dan saya mencintai kamu seperti saya mencintai diri saya sendiri, kamu tidak layak untuk memimpin sebanyak dua orang sekalipun dan tidak mampu mengelola harta milik anak yatim”.(H.R Muslim).
e. Mengetahui lingkungan di mana mutarobbi berada/tinggal, karena lingkungan mempunyai
pengaruh yang besar terhadap kepribadaian (mutarobbi), pengetahuan tentang lingkungan
mutarobbi sangat penting bagi mutarobbi sebagai bahan dalam proses tarbiyah.

2. Murobbi harus lebih tinggi kualitasnya dari mutarobbi; dalam proses tarbiyah terjadi timbal balik antara murobbi dan mutarobbi, terjadi proses memberi dan mengambil, menyampaikan dan menerima, oleh karenanya murobbi harus lebih tinggi dari mutarobbi, tidak berarti murobbi harus lebih tua dari mutarobbi sekalipun faktor usia penting akan tetapi yang lebih penting kemampuan, pengalaman dan keterampilan murobbi harus lebih tinggi dari mutarobbinya. Karenanya Rosul adalah orang yang memiliki sifat-sifat di atas semua manusia dari berbagai sisi.

3. Mampu mentransformasikan apa-apa yang dimiliki; banyak orang orang besar yang tidak mampu memberikan dan menyampaikan apa-apa yang dimilikinya, karenanya ia tidak dapat mentarbiyah, walaupun memiliki kelebihan dari sisi ilmu pengetahuan, moralitas, mentalitas dan emosional, akan tetapi karena alasan tertentu mereka tidak mendapatkan pengalaman lapangan khususnya di medan tarbiyah. Ia hanya memiliki wawasan teoritis tidak memiliki pengalaman praktis. Orang-orang seperti ini sering dijumpai di acara-acara umum seperti kajian ilmiah, seminar, dialog wawancara dan lain-lainnya mereka pandai berbicara, kuat argumentasinya dan penyampaian materinya menarik, tapi semua itu belum cukup untuk menjadikan seseorang mampu mentarbiyah. Sering kali kita terpesona dengan orang-orang seperti itu bahkan menganggap mereka memiliki potensi tarbiyah yang paling baik tanpa melihat sisi-sisi yang lain.

4. Memiliki kemampuan memimpin (al-qudroh ‘alal qiyadah); kemampuan memimpin menjadi salah satu kriteria asasi bagi murobbi.dan tidak semua orang memilki kemampuan ini, ada orang yang dapat mengambil keputusan managerial, dan ada pula yang mampu memanage perusahaan atau yayasan, akan tetapi qiyadah (kepemmpinan) lebih dari itu, khususnya proses tarbiyah tidak bisa dipaksakan. Jika militer atau penguasa dapat menggiring manusia dengan tongkat dan senjata maka seorang yang tidak memiliki kemampuan memimpin tidak akan bisa mentarbiyah orang lain.

5. Memiliki kemampuan mengevaluasi (al-qudroh ‘alal mutaba’ah); proses tarbiyah bersifat terus menerus dan berkesinambungan tidak cukup dengan arahan-arahan sesaat dan temporer dan tarbiyah membutuhkan evaluasi yang berkesinambungan. Untuk mengetahui berhasil atau tidaknya proses tarbiyah maka evaluasi adalah suatu hal yang tidak boleh diabaikan. Murobbi mengevaluasi dirinya, manhaj (pedoman), sarana, media, metoda dan mutarobbi secara intensif dan komprehensif.

6. Memiliki kemampuan melakukan penilaian (al-qudroh ‘alat taqwim); taqwim dalam proses tarbiyah 
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tarbiyah itu sendiri, murobbi harus melakukan penilaian
terhadap;
a. Menilai peserta tarbiyah untuk mengetahui kemampuannya, agar murobbi dapat mentarbiyah
sesuai dengan keadaannya.
b. Menilai peserta tarbiyah untuk mengetahui sejauh mana pencapaian muwasofat (sifat-sifat yang terdapat pada profil pribadi muslim) pada dirinya dan apa pengaruhnya dalam kehidupan  kesehariannya.
c. Menilai program, tugas dan kendala serta solusinya.
d. Menilai permasalahan tarbiyah untuk ditangani secara profesional dan proporsional.
Taqwim yang dilakukan oleh murobbi harus dilakukan secara ilmiah dan obyektif dengan
berpegang pada kaidah-kaidah taqwim yang telah baku, bukan kesan pribadi atau emosional.

7. Memiliki kemampuan membangun hubungan emosional (al-qudroh ‘ala binaal-‘laqoh al-insaniah). Hubungan antara murobbi dan mutarobbi harus dilandasi kasih sayang dan cinta karena Allah, maka murobbi yang tidak menanamkan kasih sayang dan kecintaan ke dalam jiwa mutarobbinya, bisa dipastikan bahwa semua pelajaran dan pesan-pesannya yang disampaikan kepadanya akan berakhir dengan berakhirnya kata-kata murobbi dan tidak akan masuk kedalam hati, apa lagi untuk menjadi ilmu yang mengkristal di dalam jiwa. Allah SWT.telah mengingatkan didalam surat Ali Imron ayat 159:
”Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

PENUTUP
 
Proses tarbiyah adalah pekerjaan yang tidak mudah, oleh karena itu diperlukan kesiapan dan  persiapan. Dengan dilandasi dengan pemahaman yang utuh tentang makna tarbiyah, insya Allah akan terbentuk pribadi-pribadi muslim yang syamilah mutakamilah (sempurna). Disinilah peran seorang murobbi diperlukan yang diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai walid, syeikh, ustadz ataupun qoid. Semoga Alloh SWT memberikan kekuatan dan bimbingan kepada penerus dakwah ini.
 
Wallohu’alam bishowab

@ Mewaspadai kegagalan tarbiyah

Kegagalan tarbiyah bisa terjadi ketika proses tarbiyah itu sedang dilakukan, atau juga dapat terjadi di awal proses. Kesalahan persepsi tentang tarbiyah memberi andil besar dalam membelokkan substansi tarbiyah sejak awal. Ada lima kesalahan persepsi tentang tarbiyah. 

Pertama, tarbiyah dipandang semata-mata sebagai transfer materi. Oleh karena itu, yang dimaksudkan dengan sudah atau belum ‘menyampaikan materi’ adalah sudah atau belum memperdengarkan atau menyajikan materi tersebut kepada mad’u. Di sisi yang lain, mutarabbi merasa sudah mendapat materi ketika sudah pernah mendengar paparan. Persepsi ini menyederhanakan tujuan tarbiyah sebagai pengawal dalam pembentukan fikrah dan harakah. 

Kedua, persepsi bahwa murabbi adalah segalanya bagi mad’u. Adalah hal yang dianggap ‘aib’ bagi penganut ‘mazhab’ ini bila mad’u memiliki kompetensi yang lebih baik daripada murabbi dalam beberapa bidang. Persepsi ini menyebabkan alternatif yang terjadi adalah pilihan buruk di antara hal-hal buruk berikut,
1. Mad’u menjadi kerdil bagai katak di bawah tempurung.
2. Mad’u memberontak dan senantiasa terjebak dalam ketidakpuasan.
3. Mad’u berkembang sejalan dengan tarbiyahnya, tetapi memiliki batas atas yang jelas, yaitu setinggi kemampuan murabbinya dan mustahil melebihinya. 

Ketiga, tarbiyah dianggap sebagai proses indoktrinasi dan dominasi. Murabbi memersepsikan keberhasilan tarbiyah adalah ketika mad’u memiliki ‘kesetiaan’ dan menjadi pendukung murabbi.  

Keempat, sistematika dan metodologi tarbiyah dipersepsikan sebagai hal yang baku. Misalnya saja berdasarkan pendekatan waktu, berurutan, dan tidak bisa dibolak-balik. Pendekatan ini menyebabkan seseorang yang memiliki potensi yang lebih besar tidak dapat mengambil ‘SKS’ yang lebih besar. Metodologi one way traffic, white board/papan tulis, spidol/kapur, dan beberapa hal teknis lainnya dianggap sebagai perangkat keras yang harus ada. Sedangkan seminar, diskusi, pelatihan, dan teknologi penyampaian lainnya tidak digunakan karena dianggap mengurangi ‘nilai sakral’ tarbiyah. Akibat lainnya adalah materi disajikan tidak berdasarkan kebutuhan mad’u.
Kesalahan persepsi yang kelima adalah kecenderungan untuk melakukan ‘kloning’ murabbi. Kecenderungan, hobi, syu’ur, selera, kegemaran, dan beberapa hal yang sebenarnya adalah privacy murabbi menjadi muwashafat (spesifikasi) dan ukuran keberhasilan tarbiyah.

Wallahu’alam

@ Adab-adab Halaqoh

Agar sebuah halaqah dapat dikategorikan sebagai halaqah muntigah (berhasil guna) tentunya ada aturan-aturan yang harus ditaati oleh semua komponen halaqah dalam hal ini adalah murrabi dan mutarabbi.

Dr. Abdullah Qadiri dalam buku Adab Halaqah menyebutkan adab-adab pokok yang harus ada dalam sebuah halaqah:
Serius dalam segala urusan, menjauhi senda gurau dan orang-orang yang banyak bergurau. Yang dimaksudkan serius dan tidak bersenda gurau tentu saja bukan berarti suasana halaqah menajdi kaku, tegang, dan gersang, melainkan tetap diwarnai keceriaan, kehangatan, kasih sayang, gurauan yang tidak melampaui batas atau berlebih-lebihan. Jadi canda ria dan gurauan hanya menjadi unsur penyela/penyeling yang menyegarkan suasana dan bukan merupakan porsi utama halaqah.


Berkemauan keras untuk memahami aqidah Salafusshalih dari kitab-kitabnya seperti kitab Al-’Ubudiyah. Sehingga semua peserta halaqah akan terhindar dari segala bentuk penyimpangan aqidah. 

Istiqamah dalam berusaha memahami kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dengan jalan banyak membaca, mentadabbur ayat-ayatnya, membaca buku tafsir dan ilmu tafsir, buku hadits dan ilmu hadits dan lain-lain.

Menjauhkan diri dari sifat ta’asub (fanatisme buta) yang membuat orang-orang yang taqlid terhadap seseorang atau golongan telah terjerumus ke dalamnya karena tidak ada manusia yang ma’shum (bebas dari kesalahan) kecuali Rasulallah yang dijaga Allah. Sehingga apabila ada perbedaan pendapat hendaknya dikembalikan kepada dalil-dalil yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Hanya kebenaranlah yang wajib diikuti, oleh karenanya tidak boleh mentaati makhluk dalam hal maksiat pada Allah.

Majlis halaqah hendaknya dibersihkan dari kebusukan ghibah dan namimah terhadap seseorang atau jama’ah tertentu. Adab-adab Islami haruslah diterapkan antara lain dengan tidak memburuk-burukan seseorang.

Melakukan Ishlah (koreksi) terhadap murabbi atau mutarabbi secara tepat dan bijak karena tujuannya untuk mengingatkan dan bukan mengadili.

Tidak menyia-nyiakan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menetapkan skala prioritas bagi pekerjaan-pekerjaan yang akan dilaksanakan berdasarkan kadar urgensinya.
Selain adab-adab pokok tersebut, secara lebih spesifik ada adab yang harus di penuhi oleh peserta/anggota halaqah terhadap diri mereka sendiri, terhadap murabbi, dan sesama peserta halaqah. Mula-mula seorang peserta halaqah hendaknya memiliki kesiapan jasmani, ruhani, dan akal saat menghadiri liqa halaqah ia semestinya membersihkan hati dari aqidah dan akhlaq yang kotor, kemudian memperbaiki dan membersihkan niat, barsahaja dalam hal cara berpakaian, makanan dan tempat pertemuan. Selain itu juga besemangat menuntut ilmu dan senantiasa menghiasai diri dengan akhlaq yang mulia.

Selanjutnya terhadap murabbi hendaknya ia tsiqah (percaya) dan taat selama sang murabbi tidak melakukan maksiat. Lalu berusaha konsultatif atau selalu mengkomunikasikan dan meminta saran-saran tentang urusan-urusan dirinya kepada murabbi. Selain itu ia juga berupaya memenuhi hak-hak murabbi dan tidak melupakan jasanya, sabar atas perlakuannya yang boleh jadi suatu saat tidak berkenan, meminta izin dan berlaku serta bertutur kata yang sopan dan santun.

Dan akhirnya adab terhadap kolega, rekan atau sesama peserta halaqah: mendorong peserta lain untuk giat dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti tarbiyah. Lalu tidak memotong pembicaraan teman tanpa izinnya, selalu hadir tidak terlambat dan dengan wajah berseri, memberi salam, bertegur sapa dan tidak menyakiti perasaan. Selain itu terhadap lingkungan di sekitar tempat halaqah berlangsung, hendaknya semua peserta halaqah selalu menunjukkan adab-adab kesantunan, mengucapkan salam, meminta izin ketika melewati mereka dan pamit bila akan pulang serta melewati mereka lagi.

Wallahu’alam.

@ Keutamaan Profesi Pendidik

Para pendidik muslim (murobbiy) adalah orang yang paling mulia di sisi Allah. Ucapan yang keluar dari mulutnya adalah ucapan terbaik yang sangat bernilai tinggi. Firman Allah, "Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk, orang-orang yang berserah diri". (QS. 41 : 33).

Rasulullah SAW menjanjikan kepada para pembimbing kebajikan, dengan janji-janji indah dan membanggakan. Dari Abu Mas’ud, Uqbah ibn Amr al Anzhany RA. Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang menuntun kepada kebajikan maka ia memperoleh pahala sebesar pahala yang melakukannya". (HR Muslim)

Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menyeru kepada kebenaran maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang itu sedikitpun. Dan barang siapa mengajak kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa seperti dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa orang itu sedikitpun". (HR. Muslim).

Dalam kesempatan lain Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib "Jika kamu berhasil menunjuki satu orang ke jalan kebajikan, maka itu lebih baik bagimu daripada onta merah".

Para pendidik muslim, penerus risalah Nabi, adalah orang yang rizkinya ditanggung.oleh Allah, karena ia sedang melaksanakan tugas dari Allah. Ia tidak mengharapkan balasan jerih payahnya kecuali hanya berharap kepada anugerah dan karunia Allah semata. Beginilah yang pernah dicontohkan Nabi Nuh AS. “Jika kamu berpaling dari peringatanku, aku tidak menerima upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri” (QS. 10 : 72).

Begitu juga dilakukan oleh Habib an Najjar yang dikenal pula shahibu Yaasin, ketika ia membela Rasul yang sedang dianiaya kaumnya. "Ikutilah orang yang tiada meminta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. 36:21).

@ Murabbi

Al-murabbi al-muslim adalah orang yang menurut syar’i/agama berkewajiban melakukan tugas tarbiyah Islamiyah. Manusia pertama dalam Islam yang bekerja sebagai al-murabbi adalah Rasulullah Muhammad SAW. Firman Allah, "Dia-lahyang mengutus kepada kaum yang buta buruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. 62:2).Rasulullah menjalankan tugas tarbiyyah sejak diangkat menjadi Rasul utusan Allah, sampai ia dipanggil ke sisi-Nya.


Pada kenyataannya kegiatan tarbiyah adalah profesi para Rasul utusan Allah seluruhnya, untuk tugas tarbiyah inilah Allah utus mereka. Dari itulah maka tidak seorangpun dari para Rasul itu kecuali menyerukan, mengajak dan membina kaumnya untuk hidup dalam kebenaran hidayah Allah, beribadah hanya menyembah Allah, terlepas dari semua pengaruh kekuatan apapun selain Allah. Firman Allah, "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ".Sembahlah Allab (saja), dan jauhilah thaghut itu…" (QS. 16:36).

Para Rasul utusan Allah kesemuanya adalah para pendidik yang telah Allah tunjuk untuk membawa risalah agar disampaikan kepada kaumnya. Bagi ummat Islam, tugas tarbiyah itu tidak hanya terhenti pada Rasulullah SAW, akan tetapi ummatnya memiliki peran tarbawiyah sebagai pelanjut tugas risalah al-khalidah. Allah SWT menggambarkan kehidupan orang beriman,”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munka,." (QS. 9:71).

Tugas tarbiyah menjadi tugas setiap orang beriman dalam kehidupan dunia ini. Dalam dunia pendidikan tugas mendidik itu menyebar dalam tiga macam ranah pendidikan, yaitu :
1. Keluarga, secara kodrati setiap orang tua berkewajiban mendidik anak-anaknya.
2. Sekolah, sebagai institusi yang dibuat secara profesional melakukan peran pendidikan yang menjadi tanggung-jawab orang tua.
3. Masyarakat, sebagai ruang gerak setiap anak untuk mengaktualisasikan diri, berkembang, berpengaruh dan dipengaruhi orang lain. Rasulullah bersabda :
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpin. Imam bertanggungjawab akan rakyatnya, seorang suami adalah pemimpin rumah tangga dan bertanggung-jawab akan orang-orang yang dipimpinnya, seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung-jawab akan rakyatnya, khadim/pelayan adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan bertanggung-jawab tentang apa yang ia kelola, setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung-jawaban akan kepemimpinannya”. (Hadits Muttafaq alaih dari Ibnu  Umar).

Dengan demikian tugas pendidikan menjadi tanggung jawab setiap muslim laki-laki dan wanita, setiap orang dewasa (baligh) dan ummat ini memiliki kewajiban mendidik, tidak hanya terbatas pada ulama, atau tokoh agama saja. Hanya saja para tokoh itu memiliki kewajiban khusus dalam menjelaskan rincian ajaran-ajaran agama secara jelas. Kewajiban itu disesuaikan dengan status dan kemampuan masing-masing orang. Ulama memiliki kewajiban pendidikan yang lebih besar porsinya daripada kewajiban orang awam, penguasa lebih besar porsi kewajibannya daripada rakyat biasa. Allah SWT mengecam para ahli kitab yang tidak mau menyebarkan ilmu yang diketahuinya. Firman Allah, ”Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkan kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati" (QS. 2:179).

Para penguasa memiliki kewajiban dalam penegakan ajaran agama Allah karena kekuasaannya. Firman Allah, "yaitu orang-orang yang, jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan” (QS. 22 : 41).

Kewajiban melakukan tugas didik ini tidak terbatasi waktu maupun keadaan, seperti shalat maupun shiyam, akan tetapi tugas pendidikan adalah tugas setiap zaman dan ruang. Allah SWT menerangkan tentang kegigihan Nabi Nuh AS dalam mengajak kaumnya. Nuh berkata,"ya Tuhanku sesungguhnya aku telah merayeru kaumku malam dan siang,… kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (untuk beriman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan dengan diam-diam". (QS. 71 : 5, 8, 9).

Begitu juga Nabi Muhammad SAW menyeru kaumnya siang dan malam, diam-diam dan terang-terangan, tidak ada yang menyibukkannya kecuali membina dan mengajak kaumnya ke jalan Allah, Nabi Yusuf AS tetap melakukan tugas da’wah dan pembinaan ummat meskipun ia berada dalam penjara. Allah SWT menerangkan kegiatan Nabi Yusuf , "Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, Tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya menyembah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang  nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. 12 : 39-40).

Kewajiban pendidik adalah mendidik dengan baik dan benar. Seorang pendidik hanya bertanggung jawab akan proses pendidikan yang dilangsungkan. Dalam kaidah agama terdapat rumusan: Pertama, bahwa setiap orang tidak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain, ia hanya bertanggung jawab atas perbuatan yang dia lakukan sendiri, dan melakukan perbuatan yang berhubungan dengan orang lain, seperti amar ma’ruf nahi munkar, menyerukan kebaikan, dsb. Kedua, sambutan penerimaan didikan, petunjuk dan kebenaran ada di tangan Allah (QS. 2: 272).

Di sinilah tugas pendidikan menjadi tugas sepanjang hayat, meskipun tidak mendapatkan pengikut yang diharapkan. Dan di sinilah para Rasul memerankan tugas risalahnya meskipun ditolak oleh kaumnya. Seseorang tidak dibenarkan berhenti dari tugas pendidikan dengan alasan bahwa yang dia sampaikan tidak lagi mendapat sambutan. 

Wallahu’alam.

Sumber :  http://beranda.blogsome.com

@ Tarbiyah & Halaqoh: Sebuah Pengantar

Definisi Tarbiyah Islamiyah

Tarbiyah Islamiyah adalah sebutan untuk pendidikan Islam dalam bahasa Arab. Secara bahasa tarbiyah memiliki beberapa arti:
  • Roba-Yarbu = tumbuh berkembang
  • Robiya-Yarba = tumbuh secara alami
  • Robba-Yarubbu = memperbaiki, meningkatkan
Berarti, proses pendidikan Islam seharusnya menumbuhkembangkan secara alami sebagai proses perbaikan/peningkatan diri.
Secara istilah makna tarbiyah adalah menumbuhkan sesuatu sampai pada tingkat sempurna sedikit demi sedikit (Al-Baydowi & Al-Asmahadi)

Latar Belakang

  • Kondisi umat Islam sekarang:
    1. Tidak memahami Islam itu sendiri. Banyak orang yang mengaku muslim tetapi caranya berpikir dan bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Akibatnya:
      1. Mengkotak-kotakkan ajaran Islam
      2. Terpecah belah
      3. Mencintai dunia berlebihan dan takut mati
      4. Lemah, bagai buih di lautan
    2. Infiltrasi budaya kafir. Globalisasi menghadapkan umat dengan budaya kafir yang membawa nilai dan ideologi kafir menggesser nilai Islam.
    3. Dunia yang semakin sibuk mengakibatkan kurangnya perhatian dan alokasi waktu/pikiran/tenaga untuk mempelajari Islam.
  • Hakikat jiwa manusia yang memiliki kecenderungan berbuat fujur (dosa) sekaligus takwa. Oleh karena itu penting memperbanyak rangsangan untuk berbuat takwa agar semakin terhindar dari berbuat fujur.

Solusi

Suatu metode pendidikan Islam yang bersifat:
  1. kontinu (mustamiroh)
  2. membentuk pribadi yang Islami (syakhshiyyah islamiyyah) bukan sekedar transfer ilmu (takwiniyah)
  3. bertahap dan terprogram (mutadarrijah)
  4. menyeluruh (kaffah) tidak sebagian-sebagian/parsial.

Tujuan Tarbiyah Islamiyah

  • Membentuk persepsi (tashawur) Islami yang jelas
  • Membentuk pribadi Islami (syakhshiyyah islamiyyah). Indikasi syakhshiyyah islamiyyah adalah 10 kompetensi (muwashafat) tarbiyah:
    1. Salimul ‘aqidah (beraqidah lurus)
    2. Shahihul ‘ibadah (beribadah dengan benar)
    3. Matinul khuluq (berakhlaq kokoh)
    4. Qadirun ‘alal kasbi (Mampu berpenghasilan)
    5. Mutsaqqaful fikri (Memiliki pikiran yang berwawasan)
    6. Qawiyyul jismi (Bertubuh sehat dan kuat)
    7. Mujahidun Linafsihi ( Mampu memerangi hawa nafsu)
    8. Munazhamun Fi syu’unihi (Mampu mengatur rapi segala urusan)
    9. Harishun ‘ala waqtihi (Mampu mengatur waktu)
    10. Nafi’un Lighairihi (Bermanfaat untuk orang lain)

Pengertian Halaqoh

Halaqah adalah proses kegiatan tarbiyah dalam dinamika kelompok. Halaqoh merupakan sarana tarbiyah yang utama. Waktu ideal adalah sepekan sekali antara 2 – 5 jam.

Tujuan Tambahan

  • Penjagaan iman
  • Membentuk persaudaraan antar peserta halaqoh

Adab

  • Berusaha dalam keadaan suci.
  • Bersuara sesuai dengan kebutuhan.
  • Menjaga forum halaqah dari canda ria yang berlebihan, gaduh dan ribut.
  • Disiplin, terutama dalam hal tepat waktu dan izin kehadiran
    • sebagai bentuk tarbiyah juga agar kita menghargai orang lain dan menghargai halaqoh

Agenda

  1. iftitah (pembukaan)
  2. tilawah dan tadabbur Al-Qur’an
  3. arahan singkat murabbi
  4. materi
  5. perencanaan dan evaluasi program/peserta halaqoh
  6. penutupan
Agenda halaqoh bisa ditambah ata dikurangi sesuai dengan kondisi masing-masing.

Referensi:
ust. Abu Ridho, Lc. Tarbiyah Islamiyah. Inqilab Press

@ Kebiasaan Melahirkan Karakter

IKHWAH FILLAH......
Kita mengenal orang lain dengan apa-apa yang mereka lakukan. Dengan Apa yang menjadi kebiasaannya, atau yang telah menjadi karakternya. Atau apa yang sering dia lakukan Seperti halnya kita mengenal orang cengeng, karena dia senang sekali mengungkapkan perasaannya dengan menangis. Kita mengenal orang pemarah karena sering mengungkapkan rasa kekesalannya dengan kemarahan dan lain sebagainya. Dan seharusnya kita juga menyadari, bahwa kita juga dikenal orang karena kebiasaan kita. Karena apa-apa yang kita lakukan. Dan itu seharusnya sudah cukup mampu untuk membuat kita waspada dengan apa yang kita kerjakan.

Ketika kita menyebut Abu Bakar ash siddiq, apa yang kita kenang dari beliau?Kejujurannya, ketsiqahannya kepada Rasullullah, Tadhiyahnya. Kita kenal Ali bin Abi Thalib dengan keberaniannya, dengan ilmunya, dengan kegemarannya puasa di hari yang terik dalam jihad fi sabillillah. Ustman dengan kedermawanannya, sifat pemalunya, Umar bin Kattab dengan keadilannya dan kita pun mengenal sahabat yang lain dengan ahsanu amalanya masing-masing. Pertanyaannya…dengan apa kita akan dikenal oleh orang lain ? Tidak usahlah terlalu muluk dalam lingkup sampai bisa menoreh sejarah dan nama yang selalu dikenang sepanjang masa seperti para pahlawan besar. Tapi bagi sesuatu yang sangat dekat dan sangat esensial bagi hidup kita. Sesuatu yang sangat asasi.

IKHWAH FILLAH......
Kita mengetahui bahwa surga terdiri dari banyak pintu. Dan pintu-pintu itu tidak bisa kita masuki kecuali kita mempunyai passwordnya. Tanpa itu kita tidak akan diijinkan masuk kedalamnya. Kedalam surga yang penuh kenikmatan yang belum pernah disaksikan manusia itu. Kita kenal pintu puasa, dan hanya orang-orang yang ahli syaum saja yang diijinkan masuk surga melalui pintu ini. Kalau antum bukan ahlinya, jangan berharap bisa masuk lewat pintu ini. Penjaganya tidak bisa kita ajak nego. Kita juga kenal pintu-pintu yang lainnya, pintu zakat, sodaqah, pintu jihad, dan pintu yang lainnya. Nah.. sekarang, ingin dengan pintu yang mana kita masuk ke sana ? Ketika kita memilih salah satunya, berarti kita harus mempunyai passwordnya. Menjadi ahlinya !

Kita tidak seberuntung Abu Bakar yang dia dikabarkan oleh Rosullullah diijinkan masuk ke Surga lewat pintu manapun. Karena pada kenyataannya, Abu Bakarlah pemilik hampir semua password pintu-pintu itu. Satu-satunya cara adalah…kita harus mulai menetapkan password apa yang ingin kita miliki. Dan menjadikan itu sebagai ahsanu amala kita sehingga ketika berdiri di pintu yang kita maksudkan, pintu itu membuka untuk kita karena dia bisa mengenali password kita. Kita kejar ahsanu amala kita mulai sekarang. Ketika kita menginginkan Qiyamul Lail sebagai ahsanu amal kita, jadikan QL sebagai kebiasaan kita. Jadikan dia sebagaikarakter kita. Qiyamul Lail adalah energi hidup kita. Dari kebiasaan itu, nantinya kita akan memetiknya sebagai karakter.

IKHWAH FILLAH......
Ada kalanya memang penanaman karakter melalui pembiasaan ini membutuhkan pemaksaan. Kalau diri kita masih ada kelemahan untuk mengejar amalan kita, paksa diri kita ke sana. Kadang memang untuk menjadi baik harus di paksa. Dengannya, kita berharap ia akan menjadi ahsanu amala kita. Perlu diingat, ahsanu amala setiap orang bisa jadi berlainan. Sama beragamnya dengan potensi manusia yang  dititipkan oleh Allah kepada kita. Tugas kita adalah menggalinya dan menjadikan itu sebagai icon diri kita di depan Allah. Adalah saat terindah ketika kita diijinkan oleh Allah..menghampiri pintu surga yang kita maksud, dia bisa mengenali password kita. Jangan sampai kita sudah berjalan dari satu pintu ke pintu surga yang lainya tak satupun pintu itu yang mengenali kita karena memang tak ada satupun password yang kita punya. Dan akhirnya hanya tinggal satu pintu saja yang menganga yang menanti kita dan kita dia sangat mengenali password kita…yaitu pintu neraka jahanam…karena passwordnya telah kita pegang…yaitu ahli maksiat. Naudzbillah min dzalik !

Wallahu’allam bishowab !

Minggu, 22 Januari 2012

@ Apakah Akhwat Tarbiyah “gampangan?”

Semula saya hanya merasa bahwa kata-kata gampangan itu hanya guyonan diantara kader-kader tarbiyah. Gampangan disini berarti memudahkan, bukan berkonotasi yang jelek! Tidak ada rasa atau maksud apapun saat membicarakannya. Tetapi, saat pada waktu lain. Saya berbicara dengan kader harakah lain. Saya merasa terpukul dengan ucapan seorang kader itu. Kebetulan saat itu yang beberapa kali saya temui adalah kader salafi. Bermula dari chatting. Saya di PV (Privat chat) oleh seorang ikhwan. Dia mengaku kader tarbiyah, dan ingin dicarikan saorang akhwat untuk dijadikan istrinya. Beberapa saat saya chatting dengan ikhwan itu, ternyata saat lama saya chatting dengan ikhwan itu. Terasa ada kejanggalan yang saya rasakan. Alhamdulillah, saya akhirnya tahu kalau dia ikhwan salafi. Saya tahu dari teman chat saya yang berprofesi sebagai OP (Operator) sebuah channel chatting Islam. Beberapa kali saya diklik oleh ikhwan-ikhwan, untuk diminta mencarikan seorang akhwat untuk dinikahi dengan selalu berkedok kader tarbiyah (Mana ada kader ikhwan tarbiyah mencari jodoh dichatting! Karena begitu banyaknya kader akhwat tarbiyah yang masih mengantri untuk dinikahi. Dan akhwat kader terbiyah sangat banyak). Ternyata mereka tak lain adalah kader-kader harakah lain, dan salafi. Tetapi Alhamdulillah, saya tidak dengan mudah menyerahkan saudari-saudari saya dengan ikhwan yang tidak saya kenal. Tidaklah seorang saudara menyerahkan saudaranya yang lain tanpa mengetahui jelas ketsabatan dan ketsiqohan seseorang.

Yang memukul perasaan saya. Adalah saat dia mengatakan, kalau akhwat tarbiyah itu orangnya fleksibel, atau gampangan. Saya sedikit terhenyak dengan Al Akh dari Salafi ini. Yang mengatakan dengan tegas seperti itu, seperti tidak mempunyai dosa sama sekali saat mengatakan itu. Tetapi ada rasa bangga juga saat Al Akh dari Salafi mengatakan itu. Bangga, karena akhwat tarbiyah adalah akhwat yang tidak berashobiyah. Sehingga dengan mudah menikah dengan yang berlainan harakah. Saat saya terus menanyakan tentang kenapa dia mencari istri seorang kader tarbiyah. Dan alasan-alasannya. Lalu kenapa Al Akh dari salafi itu tidak mencari akhwat dari salafi sendiri atau mungkin dari HTI ataupun Jamaah Tabligh. Mereka, kurang lebih beralasan sebagai berikut:

1 Al Akh dari salafi itu mengatakan kalau ustadnya sudah tidak mempunyai persediaan akhwat. (stock habis)
2 Kalau mencari akhwat kader tarbiyah itu lebih mudah dan gampang karena kefleksibelannya.
3 Kalau mencari akhwat selain kader tarbiyah, Al akh dari salafi menyatakan sulit. Karena proteksi mereka terhadap jamaahnya terlalu ketat.
4 Dan Al Akh dari salafi itu mengatakan, banyak sekali akhwat harakah selain tarbiyah, sangat sulit menerima ikhwan dari salafi.

Dari dialog dengan saudara-saudara kita yang dari salafi. Terlihat sangat jelas, mereka sedang gundah karena jarang sekali akhwat yang mau menerima mereka. Selain akhwat tarbiyah. Sungguh indah bertarbiyah saat-saat sudah diajarkan bagaimana saling mencintai saudara sesama Islam. Sehingga tidak memilah dan memilih seseorang yang dari golongannya sendiri. Karena memang tarbiyah bukan dari golongan. Dan kader-kader tarbiyah adalah kader-kader yang menjunjung tinggi dalam nilai ukhuwahnya. Saya bisa mengambil kesimpulan dari empat item kesusahan beberapa Al Akh dari Salafi, bahwa ::

1 Akhwat dari kader-kader salafi sangat sedikit. Dan akhwat kader-kader tarbiyah, tak terbilang banyaknya. Berarti tarbiyah adalah pilihan yang tepat dan memang benar-benar dipilih oleh banyak akhwat. (Akhwat tarbiyah, unlimited)
2 Akhwat tarbiyah dengan mudah mau menikah dengan kader harakah lain. Karena adanya kekuatan ukhuwah yang sangat kuat. Dan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Karena dalam tarbiyah, semua umat Islam adalah saudara.
3 Di tarbiyah untuk proteksi dalam jamaah, tidaklah sesulit seperti harakah lain. Kader-kader tarbiyah adalah kader-kader yang menjunjung nilai ukhuwah yang tinggi. Jadi tidak hanya akhwat tarbiyah yang menjunjung tinggi nilai ukhwah. Bahkan ikhwannya, tidak pernah menggolongkan keberbedaan dengan harakah lain termasuk salafi. Bahkan beberapa kali ada seorang ikhwan dari kader tarbiyah. Yang menjadi incaran seorang akhwat salafi dan kader harakah lain, untuk dijadikan suaminya.
4 Ikhwan dari salafi itu mengatakan banyak akhwat-akhwat dari kader harakah lain. Sulit untuk menerima ikhwan salafi. Tetapi sebenarnya bukan hanya akhwat, tetapi ikhwan pun dari harakah lain. Akan sulit menerima orang-orang salafi, jika dakwahnya terus-menerus selalu mencela dan melecehkan harakah-harakah lain, termasuk melecehkan tarbiyah. Tetapi untungnya ditarbiyah, kita tidak pernah diajarkan untuk membenci seseorang yang mengolok-olok kita. Di tarbiyah, dilarang untuk memusuhi orang-orang yang sukanya mengolok-olok dan melecehkan saudaranya sendiri.

Tetapi, ada kekhawatiran didiri saya sendiri. Jika kader-kader tarbiyah, terutama akhwat-akhwatnya. Jika mereka memudahkan untuk menerima kader-kader harakah lain. Ada kekhawatiran bagi diri ini, jika nanti suaminya akan melarang akhwat tarbiyah ini untuk bertarbiyah. Karena banyaknya harakah-harakah yang termasuk salafi yang tidak senang dengan tarbiyah, dan karena kekuatan sami’na wa ato’nanya seorang istri dari kader tarbiyah. Saya takut hal ini akan terjadi! Karena sungguh, hanya dengan bertarbiyahlah kita mengerti tentang Islam. Karena dengan bertarbiyahlah kita dapat mengetahui keindahan Islam. Dan karena dengan tarbiyahlah kita terus mengamalkan rahmatanlil’alamin didalam Islam. Dengan bertarbiyahlan khilafah Islam akan kembali.

Sumber : www.suara01.blogspot.com

@ Jangan Panggil Kami Ikhwan


Saudaraku…Alhamdulillah, kita telah dimasukan oleh-Nya termasuk kedalam golongan orang yang senantiasa berusaha menegakkan kalimatul haq dan al-izzah Islamiyah yaitu dalam shaf-shaf barisan tentara-Nya—Jundullah.
Dalam derap perjalanan dakwah yang telah, sedang, dan akan kita jalani; ada banyak sekali onak duri yang menjadi aral rintang—yang meski dihadapi, bukan dihindari.
Aral rintangan tersebut datang dari dalam dan luar diri kita; kesemuanya itu menuntut adanya kebersihan jiwa, akal dan hati.

Saudaraku yang dirahmati Allah…
Salah satu faktor dari dalam yang sering terlupakan atau dianggap remeh adalah masalah “hijab” diantara kita yang kian menipis.
Hijab disini kami pandang dari dzahir dan batin.
Dari dzahir adalah mulai melebarnya nilai toleransi tentang batasan hijab dan pemakluman “keadaan darurat” yang menjurus pada kebiasan untuk menganggap biasa saling pandang, seringnya frekuensi bertemu atau sekedar saling titip pesan!
Dan banyak hal yang tak bisa aku sebutkan satu persatu.
waspadailah dosa-dosa yang kecil itu wahai ukhti shalilah.
Bukankah tak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus?
Tanamkanlah dihatimu wahai saudaraku!
Bahwasanya dosa adalah setiap hal yang membuatmu tidak suka jika diketahui orang lain, karena membuat harga dirimu jatuh.
Berbuatlah ihsan pada diri sendiri dan orang lain.
mungkin kita perlu merenungi sebuah pertanyaan retoris yang dilontarkan seorang ahli hikmah:

Saudaraku, Bantu kami…Jangan panggil kami ikhwan!
Selagi engkau masih menemui kami mengumbar pandangan.
Hingga lepas panah syetan daru busurnya dan melesat dengan sebenar-benar kecepatan kecelah hati tanpa terasa. Hingga lupa makna ghudul bashar menjaga pandanagn) yang pernah kami ceritakan dan kita kaji bersama.
Sebagai kaum Adam, sudah menjadi fitrah untuk senang kepada kaummu, kaum Hawa.
Tapi sungguh fitrah tersebut bisa menjadi salah satu jalan menuju neraka-Nya seandainya kami tidak memaknai dan menerapkannya secara tepat;
sesuai dengan kaidah syar’i.
Dan tentunnya tanpa bantuanmu agar pandangan kami tidak buas dan liar mustahil untuk terwujud.
Apakah menurutmu mungkin seekor singa jantan yang kelaparan akan membiarkan mangsanya lepas begitu saja? Terlebih ketika da kesempatan yang sangat memungkinkan untuk memangsanya?
Mari kita tengok kembali sebuah nasehat dari sebuah hadist qudsi.


"Pandangan mata itu adalah sebuah anak panah dari panah-panah Iblis. Maka barangsiapa meninggalkannya (mengelakkannya dari melihat wanita) karena takut kepada-Ku, niscaya Aku ganti dengan iman yang dirasakan lezat manisnya didalam hatinya.”  (Riwayat Thabrani dan Hakim dari Ibnu Mas’ud)


Ketahuilah, kami akan jujur kepadamu.
Kami adalah laki-laki normal dan punya keinginan-keinginan.
Kami bukan malaikat!
Dan seringkali walau secara dzahir kami menjaga adab-adab Islamiyah, namun disisi lain kami juga bisa terjatuh dalam menikmati keberadaanmu, kaum Hawa.
Akankah engkau dan kaummu tega jika kami terjatuh dalam kubangan yang penuh kemaksiatan itu?
Jawablah jujur wahai ukhti...!
Jujurlah padaku...!

Saudaraku...Jangan panggil kami ikhwan!
Jika engkau masih melihat kami berkhalwat (berduaan dengan lawan jenis bukan mahram)
dan berikhtilat (campur baur pria dan wanita).
Dengan dalih ini tidak apa-apa masih syar’i dan untuk kepentingan organisasi.
Atau dengan alasan, tak masalah tanpa hijab yang penting hati bersih dan niatan suci, sedang lingkaran kemaksiyatan mengelilinginya?
Ketahuilah wahai ukhti muslimah Arrijalu qowwamuna’alan-nisa—bahwasanya laki-laki adalah pemimpin atas wanita.
Apa jadinya jika sebagai laki-laki kami lemah dalam menerapkan ilmu dan syariat-Nya.
Terlebih karena engkau sebagai kaum Hawa seringkali membuat niatan dan maksud kami berubah.
Oleh karena itu nasehatilah kami, jika kami melanggar syariat-Nya!
Jangan ragu dan malu.
Tegaslah kepada kami, niscaya nasehat darimu akan menjadi pengontrol dan penyeimbang hati kami dalam melakukan tugas sebagai qowam—pemimpin.
Saudaraku…Jangan panggil kami ikhwan! Jika engkau masih menemui kami sholat fardhu dengan munfarid—sendirian— dan meninggalkan sholat jama’ah, dengan alasan darurat dan tanggung untuk menutup syura’ (rapat) atau aksi yang sedang dilakukan.


Terlebih ketika kami dengan sengaja mengakhirkan waktu shalat!
Karena hal tersebut menandakan hati kami sedang “tidak sehat”.
Jangan engkau sungkan menyiram kami dengan kritik tajam yang membangun.
Ketahuilah bahwasanya “siraman” yang engkau lakukan menandakan dinamisnya tandzim (organisasi) yang kita berada didalamnya.
Peringatkanlah kami!
Peringatkan kami, wahai ukhti!
Adapun jika kami diam dan acuh maka tinggalkan syura’, pertemuan atau kegiatan apapun yang kita berada didalamnya. Coba kita renungkan firman-nya yang mulia:


Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu pasti akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(At-Taubah: 71)

Saudaraku yang dirahmati Allah...Jangan panggil kami ikhwan!
Jika kau menemui kami mundur dari gelanggang tarbiyah dakwah dan jihadiyah;
meski selangkah.
Dengan alasan mengatur strategi kembali dan beristirahat barang sejenak untuk menyurun kekuatan.
Padahal jiwa ini mengatakan kami takut maut yang menghadang.
Engkau dan kaummu (kaum Hawa—ed) tentunya lebih paham dimana letak kelemahan kami.
Karena itu bantulah kami memompa ghirah agar menjadi bola semangat yang auranya dapat menggetarkan musuh-musuh Allah dari jarak sekian-sekian dari perjalan waktu.
Bantu kami dengan doamu dan kaummu agar ruh-ruh jihad tidak lepas dari jiwa kami.
Dan doakan kepada Allah semata agar kami menjadi saefullah
—pedang Allah yang tajam dan ditaakuti musuh-musuh-Nya.
Jangan biarkan kami mengeluh! Ingatkanlah selalu kami dengan firman-Nya:


Apakah kamu menyangka bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang padamu (cobaan0 sebagimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan—dengan bermacam-macam goncangan dari cobaan; sehingga berkatalah Rosul dan orang-orang yang bersamanya’ bilakah datangnya pertolongan Allah? ‘Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat”
(QS. Al-Baqoroh: 21)


Dikutip dari buku SURAT CINTA UNTUK SANG AKTIVIS

@ PESAN BAGI PARA IKHWAN .... "Mengertilah Keadaan Akhwat" ....

ikhwaaaan

terkadnag mungkin kita lupa membuka mata hatu kita karena telah terbutakan sesuatu....., untuk itu mari kita memmuasabah diri kita
semoga artikel dibawah ini bisa menyentuh hati kita dan bisa membuka mata hati kita

Bismillahir-Rahmanir-Rahim....

Izinkan Ummi berbicara dari hati seorang wanita,yang mungkin bisa mewakili suara saudara-saudara Ummi,para akhwat pada umumnya.

Tumbuhnya ‘perasaan’ ikhwan terhadap akhwat bila berlanjut terus tidak jarang pada akhirnya sampai pada proses yang namanya ta’aruf.Nah disinilah Ummi ingin mencoba bicara dan sekaligus berpesan kepada para ikhwan yang akhirnya memutuskan untuk menjalani proses ta’aruf pada seorang akhwat.

Proses ta’aruf merupakan suatu proses awal menuju proses selanjutnya,yaitu khitbah dan akhirnya sebuah pernikahan.Memang tidak semua sukses sampe tahap itu.Sang sutradaralah yang mengatur.Semua adalah scenario dan rekayasa-NYA.Tapi kita manusia juga diberi pilihan.Mau baik atau buruk,mau syurga atau neraka,mau sukses atau gagal,semua adalah pilihan.Namun tetap ALLOH yang menentukan.

Bagi para ikhwan,pikirkanlah baik-baik,matang-matang,dan masak-masak sebelum menawarkan sebuah jalinan.Jangan mudah melontarkannya jika tak ada komitmen dan kesungguhan untuk meneruskannya.Mengertilah keadaan akhwat.Antum tau,bahwa sifat kaum hawa itu lebih sensitive.Akhwat mudah sekali terbawa perasaan.Disadari atau tidak,diakui atau tidak,akhwat adalah makhluk yang mudah sekali GR,suka disanjung,suka diberi pujian apalagi diberi perhatian lebih.

Bila diibaratkan ta’aruf adalah pintu halaman rumah antum dan pernikahan adalah pintu rumah antum,kemudian timbul pertanyaan,berapa jauhkah jarak pintu gerbang menuju pintu rumah antum?

Padahal selama perjalanan akan banyak cobaan menghadang.Bunga-bunga indah di halaman rumah antum bisa membuat akhwat terpesona.Kolam ikan yang indah juga membuata para akhwat terlena.Ingin sekali akhwat memetiknya,ingin sekali akhwat berlama-lama di sana menikmati keindahan dan kenikmatan yang antum sajikan.Tapi tidak berhak,karena belum mendapat ijin dari yang punya rumah.

Akhwat ingin segera mencapai sebuah keberkahan,taipi ditengah jalan antum menyuguhkan keindahan-keindahan yang membuat akhwat lupa akan tujuan semula.Lebih menyakitkan lagi jika antum membuka gerbang itu lebar-lebar dan akhwatpun menyambut panggilan antum dengan hati berbunga-bunga.Tapi setelah akhwat mendekat dan sampai di depan pintu rumah antum,ternyata pintu rumah itu masih tertutup.Bahkan antum tak berniat untuk membukakannya. Saat itulah hati akhwat berkeping-keping.Setelah senmua harapan terangkai,tapi kini semua runtuh tanpa kepastian. Atau mungkin antum akan membukakannya,tapi kapan???

Antum bilang jika saatnya tepat.Lalu antum membiarkan akhwat menunggu diteras rumah antum dengan suguhan yang membuat akhwat kembali terbuai,tanpa ada sebuah kejelasan.Jangan biarkan akhwat berlama-lama di halaman rumah antum jika memang antum tak ingin atau belum siap membukakan pintu untuknya.Akhwat akan segera pulang karena mungkin saja rumah lain yang siap menjadi tempat bernaung mereka dari teriknya matahari dan derasnya hujan di luar sana.Mereka tak ingin menghianati calon suami mereka yang sebenarnya.Diistananya ia menunggu calon bidadarinya.Menata istananya agar tampak indah.Sementara mereka berkunjung dan berlama-lama di istana orang lain.

Akhi,tolong hargai akhwat sebagi saudara antum.Akhwat bukan kelinci percobaan.Akhwat punya perasaan yang tidak berhak antum buat ‘coba-coba’.Pikirkanlah kembali.Mintalah PetunjukNYA.Jika antum sudah merasa siap,maka jemputlah mereka.

Semoga pesan ini bisa menjadi bahan renungan antum,para ikhwan.Calon Qowwam kami (para akhwat) dalam mengarungi bahtera rumah tangga Islami yang akan melahirkan generasi Rabbani penyeru,pembela agama Alloh.Akhirnya Ummi minta maaf,jika ada salah dalam tulisan ini.

Semoga bermanfaat dan penuh Kebarokahan dari Allah.....

Marilah Setiap detak-detik jantung..,
selalu kita isi dengan..
Asma Teragung diseluruh jagad semesta raya ini... 

Sumber :  http://frequencia89.blogspot.com

Senin, 02 Januari 2012

@ Pembelajar Sejati

Banyak hal-hal yang mesti kita pelajari dalam menempuh kehidupan ini. Sahabat,,,,yuk kita cari bagaimana cara menjadi pembelajar sejati. Disini saya akan sedikit memberikan tips-tips untuk menjadi pembelajar sejati...chayooo..!!! Bismillah....  ^__^
@ Cari mentor
@ Ubah kesalahan
@ Bangun minat
@ Identifikasi pengetahuan
@ Tentukan tujuan
@ Tentukan visi




"...Dan apabila dikatakan; "Berdirilah kamt, maka berdirilah, niscaya ALLOH akan meninggikan orang2 yg beriman diantaramu dan orang2 yg diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS. Al- Mujaadilah : 11)

@Cintamu inspirasiku


Tak ada yg lebih berharga didunia ini selain cintamu...
Cintamu hadir, membantuku bertahan hidup menempuh segala rintangan...
Rona wajahmu menyejukkan hati, ketika ku memandangnya...
Setiap tujuanku, selalu terbayang nasehatmu...
Jika engkau menangis, hatiku pun ikut menangis...
Tanganmu lembut ketika ku menciumnya...
Cintamu begitu tulus mengalir di sela kehidupanku...
Sungguh, aku tak bisa membalas cinta yg telah engkau salurkan pada diriku...
Biarlah ALLAH yg akan membalas dengan syurga-NYA.
Ajari aku untuk selalu mencintaimu IBU...

By. Anakmu

@ Halalkanlah CINTA itu, karena ia FITRAH


Tak sepantasnya kau ucapkan cinta kepadaku,
Tak sepantasnya hatimu melabuhkan kepelabuhan hatiku.
Tak sepantasnya rasa itu kau selipkan kepadaku,
Ya tak sepantasnya.......
Jika aku tak halal untukmu.

Jangan mudah mengobralkan cintamu kepadaku,
Jangan jadikan cinta itu tak bermakna
Jangan biarkan cinta itu ternodai
Jangan dekatkan cinta itu dengan maksiat
Jangan yaaaaaaaaaaaa
Karena cinta itu adalah fitrah yang ALLOH berikan.

Jika memang kau cinta
Jadikan cintamu karena ALLOH
Jika benar kau cinta
Jadikan cintamu tak melebihi cintamu pada-NYA
Jika cinta itu tumbuh dalam hatimu
Jadikan cintamu dalam bentuk pertanggungjawaban yang syar’i
Yaitu dengan ikatan yang sah dan halal untuk kita.

@ Asam Manis Menjadi Akhwat

oleh : Hawa (Haifa Wahyu)

Kerutan di dahi seorang akhwat yang saat itu berada di kerumunan para calon penumpang angkot, Mendadak menjadi bertambah banyak…
Terciptalah sebuah sajak di kepalanya…
Beginilah kira-kira isi sajaknya…

Sungguh berat menjadi akhwat
Kemana-mana mesti liat-liat
Duduk di angkot takut sebelahan sama yang bukan mahram bukan kerabat
Dandan berlebihan jadi maksiat
Suara mendayu jadi laknat

Sungguh berat menjadi Akhwat
Sangat rapi menutup aurat
Terhindar dari pakaian ketat
Meski kerap dikira sesat
Hanya karena lebarnya Jilbab.

Sungguh berat menjadi Akhwat
Harus pandai menjaga amanat
Menuju peradaban bermartabat
Islam jaya bangsa selamat

Sungguh berat menjadi akhwat
Bila akhwat terkena fitnah jahat
Semua mata memandang cepat
Makanya, lebih aman jadi Ummahat.
Ups… di waktu yang tepat ya wat.
Hmm… di balik semua yang berat, tersimpan semua hal yang nikmat.

Nikmat nian menjadi Akhwat
Tiap hari baca Ma’tsurat
Qiyamul lail slalu semangat
Tilawah Qur’an gak pernah lewat

Indah nian menjadi akhwat
Kerjanya Dakwah kepada Ummat
Tidak minta upah berlipat
Cukuplah Allah pemberi rahmat

Senang nian menjadi Akhwat
Sahabat banyak ukhuwah erat
Ghodul Bashar jadi manfaat
Supaya mata gak asal lihat
Agar Hati makin Ma’rifat

Puas-puaskan menjadi akhwat
Nahnu jundullah nahnu du’at
Biarkan sang malaikat mencatat
Si akhwat hamba yang ta’at

(ini tulisan agak ngasal… kalo ada kesalahan itu pasti berasal dari ane pribadi, kalau ada kebenaran pastilah berasal dari Allah… billahi taufiq wal hidayah..

@ TARBIYAH DZATIYAH

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". (QS. 66:6).

Tarbiyah Dzatiyah adalah sangat penting bagi setiap Muslim untuk meningkatkan kualitas keimanan danmkeislamannya sehingga mencapai maqom kesempurnaan. Untuk itu sangatlah perlu bagi setiap Muslim untuk memahami urgensi Tarbiyah Dzatiyah ini dan mengamalkannya.

Pengertian

Tarbiyah Dzatiyah adalah sejumlah sarana tarbiyah (pembinaan) yang diberikan oleh setiap individu Muslim bagi dirinya sendiri agar terbentuk kepribadian Islami yang sempurna dalam segala segi: keimanan, akhlaq, social, ilmiah dan sebagainya.

Urgensi Tarbiyah Dzatiyah

Tarbiyah Dzatiyah sangat diutamakan terutama menghadapi era materialisme dimana setiap manusia menjadi sangat individualis, liberalis-demokratis, sehingga perangkat-perangkat tarbiyah yang lainnya menjadi kurang efektif tanpa didukung oleh kesadaran masing-masing individu untuk mentarbiyah dirinya sendiri. Secara lebih rinci, urgensi-uergensi ini diantaranya adalah:
 1. Menjaga diri harus didahulukan daripada menjaga orang lain.
2. Jika kita tidak mentarbiyah diri sendiri, lalu siapa yang akan mentarbiyah kita?
3. Hisab di hari akhir akan bersifat individual.
4. Tarbiyah Dzatiyah lebih mampu mengadakan perubahan pada diri sendiri.
5. Tarbiyah Dzatiyah merupakan sarana Tsabat (kokoh pendirian) dan Istiqomah.
6. Sarana dakwah yang paling kuat.
7. Merupakan cara yang benar dalam memperbaiki realitas yang ada.
8. Mudah diaplikasikan kapan saja, dimana saja secara kontinyu.

Mengapa Tarbiyah Dzatiyah ditinggalkan?
1. Kurangnya ilmu, ketidaktahuan dan kebodohan.
2. Tidak memiliki tujuan dan sasaran yang jelas dalam hidup ini.
3. Cinta dunia yang berlebihan.
4. Pemahaman yang salah tentang Tarbiyah.
5. Kurangnya basis Tarbiyah.
6. Langkanya Murabbi (pembina).
7. Kurang memahami prioritas.

Sarana-sarana Tarbiyah Dzatiyah
1. Muhasabah.
2. Taubat atas segala dosa.
3. Mencari ilmu dan memperluas wawasan.
4. Memperbanyak amal-ibadah.
5. Memperbaiki akhlaq.
6. Terlibat aktif dalam kegiatan dakwah.
7. Mujahadah.

Buah Dari Tarbiyah Dzatiyah
1. Mendapatkan ridho Alloh SWT dan syurgaNya.
2. Kebahagiaan dan ketenteraman.
3. Mendapatkan cinta Alloh SWT.
4. Kesuksesan dunia dan akhirat.
5. Terjaga dari musibah dunia dan akhirat.
6. Keberkahan dalam waktu dan harta.
7. Sabar dalam setiap cobaan dan ujian.
8. Bebas dari rasa takut.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-showab.

 "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. 7:96)

 "Dan di antara mereka ada orang yang berdo'a:"Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (QS. 2:201)

Disarikan oleh buku :
Al-Aidan, Abdullah bin Abdul Aziz: At-Tarbiyah Adz-Dzaatiyah Ma’alim Wa Taujihat, diterjehkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Tarbiyah Dzatiyah; oleh: Fadhli Bahri; diterbitkan oleh An Nadwah, Jakarta, 2002.