Rabu, 18 Maret 2015

@Mempertinggi Sinyal Perasaan


Menjadi manusia jangan hanya merasa bisa, tapi harus bisa merasa. Merasa bisa itu penting untuk menghargai kemampuan sendiri dan mendorong diri untuk mengeksplor  potensi yang ada didalamnya untuk mencari dan menemukan sesuatu. Tapi itu dalam arti yang terukur, tidak boleh sensasional. Karena pasti akan melahirkan sifat takabur, menepuk dada, sombong, riya, dan sebagainya. Dan ujung-ujungnya akan membuat kebaikan kita menjadi sia-sia serta keberadaan kita menjadi penyakit bagi lingkungan sosial. Oleh karenanya merasa bisa itu diletakkan dalam porsi yang proposional obyektif untuk membangun dan mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan. Tetapi bisa merasa itu juga jauh lebih penting  untuk mewujudkan rasa dan perilaku kemanusiaan kita  pada sesama. Bisa merasa juga merupakan perubahan perasaan untuk mengikis sifat egois dan individualistik pada diri kita. Dan selanjutnya membangun sifat sosial untuk empati dan peduli terhadap orang yang  sedang membutuhkan  bantuan kita . Disinilah lahir sifat filantropi (kedermawanan) untuk membagi kebaikan pada sesama.

Kita bersyukur hidup didalam era kemajuan dan kemoderenan, tetapi era ini juga telah  mendepak sejumlah nilai-nilai sakral  dalam kehidupan kita. Katakanlah seperti hilangnya filantropi dan merasa kaya sendiri dengan sifat individualistiknya. Bisa merasa sepertinya lebih kecil dari pada merasa bisa. Akibatnya dimana-mana terdapat kekeringan perilaku sosial, yang ada hanyalah kepentingan pribadi. Bahkan yang paling memprihatinkan kita adalah mencari dan mendapatkan  kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan rakyat/masyarakat. Atau dengan pengertian  lain  menjual rakyat untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Mengapa bisa terjadi? Itulah penampakan sinyal dari perasaan yang rendah sehingga hatinya tumpul, tidak menangkap jeritan dan penderitaan sesama. Karenanya keberanian memotong antena perasaan pribadi dan mempertinggi antena perasaan sosial itu lebih penting untuk memperluas kawasan sinyal perasaan menangkap  jeritan  manusia semesta. Nabi Saw pernah mengingatkan  kita dalam hadisnya ”Innamatunsharuna, waturzaquna bi dhuafaikum” Sesungguhnya kamu mendapatkan pertolongan dan mendapat rizki dari Allah karena doanya orang-orang lemah diantara kamu. “Subhannallah”, betapa baiknya kaum dhu’afa, kita dengan doa mereka memberikan konstribusi spiritual dan sosial yang cukup signifikan pada kita yang merasa sebagai  kelompok masyarakat berpunya (the have). Tanpa kita sadari  bahwa yang kita miliki itu adalah  pemberian gratis lagi mulia karena do’a dari kaum yang tidak berpunya (the have not). Bisa kita bayangkan bagaimana  jadinya keberadaan kita kalau kaum dhu’afa semuanya berdo’a mengutuk  kita karena terzalimi?. Tentunya lebih dasyat dari Sunami Aceh. Oleh karena itu teologi Al-Maun dengan triloginya yaitu: Iman, Ilmu dan Amal menjadi sangat penting untuk mempertinggi sinyalnya perasaan kita terhadap kaum dhu’afa. Perhatikan firman Allah: “Taukah kamu orang yang mendustakan Agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang sholat. Yaitu orang yang lalai dari Sholatnya. Orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong dengan barang berguna” ( Qs Al-Maun: 1-7). Fahami benar-benar maksud ayat tersebut, kemudian lakukan apa yang kita bisa untuk  mereka kaum dhu’afa. Sehingga paling tidak kita terbebaskan sebagai pendusta agama. Semoga!