Dulu,
sewaktu kecil, aku tak mengerti mengapa ibuku menangis saat
membelikanku baju baru, padahal saat itu aku melompat-lompat kegirangan
dan memamerkannya kepada teman-teman. “Apa Ibu sedih karena sebagian
uangnya telah dibelikan baju untukku?”, pikirku saat itu. Aku juga tak
mengerti mengapa ibu menangis ketika ku terbaring lemas dan suhu badanku
sedikit panas, padahal saat itu aku tak menangis, aku senang ibu ada
disampingku, memelukku, “Aku gak papa koq Ma”, mata kecilku mencoba
menjelaskan. Aku juga tak mengerti mengapa teman-teman akhwatku mudah
sekali tersentuh hatinya dan berlinang air mata karena hal-hal kecil,
yang menurutku biasa-biasa saja. Ah, hanya mereka yang tahu jawabnya.
Tidak
usah jauh-jauh mencoba mengerti perasaan mereaka, akupun tak mampu
menerjemahkan arti airmataku sendiri. Terkadang ia keluar tanpa diminta.
Ia ingin keluar karena ia memang ingin keluar. Tak perlu alasan untuk
itu. Pernah terbersit tanya dalam benakku, “Mengapa stok airmata wanita
lebih banyak dari pria? Apa mungkin Tuhan sengaja ciptakan airmata
khusus untuk wanita?”
Sampai
detik ini, ketika aku menangis, aku mengklaim bahwa diriku itu lemah
dan rapuh. Maka aku segera menghapusnya, mencoba bangkit, dan berkata
pada diri sendiri, “Hey ida! Jadi akhwat gak boleh cengeng! Katanya
mujahidah, dikit-dikit koq nangis?!” bukannya berhenti, eh tangisku
malah semakin menjadi. “Aku memang lemah, rapuh, cengeng!”, makiku pada
diri sendiri.
Aku
mencoba mencari tahu tentang rahasia airmata. Mengapa seorang Ibu,
istri, akhwat, wanita mudah sekali menangis? Mengapa mereka bisa
menangis tiba-tiba untuk masalah yang terlihat sepele di mata pria? Apa
sebenarnya rahasia airmatamu, wanita? Dan jawaban itu justru aku temukan
dari seorang lelaki bernama Yoli Hemdy lewat goresan penanya. Tulisan
yang menyentuh dan menggugah, dari seorang Arjuna berhati bunga. Kutulis
ulang untuk kalian semua,
Rahasia Airmata
Barangkali
lelakilah, manusia yang paling miskin khazanah nuansa emosional. Hal
itu justru terkondisikan oleh keadaan serta latar kehidupan yang
membentuk watak kepribadian. Realitas social secara sistematis membuat
garis demarkasi yang ketat antara pria dengan airmata. Bahkan dalam
kamus pribadinya, airmata terlanjur dipersepsikan sebagai ekspresi
kecengengan dan kelemahan.
Sebagaimana
ketika masih kecil ia mendengar bapaknya membentak, “Diam! Kamu
laki-laki, jangan menangis”, atau, “Dasar laki-laki cengeng, sana nangis
di balik kebaya Ibumu!”
Tiba-tiba
setelah berumahtangga ia harus serumah dengan wanita. Sosok yang sering
memakai bahasa airmata. Pada banyak kondisi dan situasi bisa tumpah
ruah seolah tanpa batas. Maka di sanalah bermula perjalanan misterius
yang penuh kejutan.
Pertama
melihat airmata, ketika upacara ijab qabul berlangsung sacral. Entah
mengapa ada bintik-bintik bening merebak, membasahi bulu-bulu lentik di
kelopak mata gadis pilihannya. Susah payah ia menepis baying-bayang
hitam: “Apakah wanita itu menyesal menikah denganku? Kalau tidak, lalu
mengapa harus ada airmata?”
Sebagai
suami pemula ia belum siap menerjemahkan bahasa airmata secara
sempurna. Betapa rumit logikanya menerima saat wanita meneteskan
airmata, sambil memeluk bayi yang demam panas. Padahal obat penawar baru
saja usai diberikan. Apakah airmata bisa mengurangi rasa sakit?
Kenapa
mata istri sembab berlinang air ketika kepala suaminya berlumuran darah
jatuh dari vespa? Sementara ia sendiri merasa biasa-biasa saja. Mengapa
matanya berkaca-kaca saat melepas rindu setelah lama berpisah?
Sedangkan ia malah tertawa-tawa bahagia.
Puncaknya
sang istri menangis setelah melahirkan bayi yang telah lama dinanti.
Susah payah suami membujuk, tapi dia keras kepala. Terus menangis,
hingga kemudian berhenti sendirian.
Tapi
anehnya, wanita tidak meneteskan airmata ketika suami di PHK. Saat
tergusur dari pondok kontrakan, susu bayi tiada, atau dapur yang mulai
jarang berasap. Istri tidak menangis bila tiga tahun menikah belum
selembar baju baru dihadiahkan suami tercinta.
Atau
peringatan ulang tahun perkawinan yang dirayakan cukup dengan makan
nasi dingin. Rumah kontrakan yang sering kebanjiran. Bahkan ketika dia
“terpaksa” ikut serta memeras keringat, menopang ekonomi keluarga yang
timpang.
Alhasil,
walaupun telah berumahtangga, -bukannya tambah paham- airmata justru
membuatnya bingung, heran bercampur takut. Ternyata sungguh rumit
menakar makna airmata wanita berdasarkan timbangan akal semata. Apa
sebenarnya rahasia airmatamu wahai wanita? Jeritnya dalam hati.
Walau
ia sesali juga mengapa tidak ada matakuliah hikmah airmata!? Mana
referensi, buku-buku, atau hasil penelitian yang mengkaji makna tetesan
bening dari pelupuk mata? Lagi-lagi ia harus kecewa.
Padahal
selaku muslim yang saleh, ia menyadari kewajiban suami untuk mendidik,
membina dan mencintai istri. Maka mau tidak mau ia harus menyelami
kehidupan emosional dan perasaan wanita. Termasuk dimensi airmata,
dengan segala kerumitan yang khas dan membutuhkan kepekaan tertentu.
Semula
ia berasumsi, semua wanita menangis tanpa ada alasan. Syukurlah
teka-teki itu terjawab oleh ensiklopedi kehidupan, serta kekayaan
pengalaman yang direguk selama berumahtangga. Sedkit demi sedikit mulai
dipahami, sebenarnya airmata wanita adalah airmata kehidupan.
Airmata
kekuatan, saat melahirkan bayi dari rahimnya. Sementara angka kematian
ibu terus menunjukkan grafik meningkat. Airmata kehangatan bagi
bayi-bayi yang terkantuk menahan lelap dan sentuhan kasih saying dalam
dekapan lembutnya.
Airmata
yang peka dan kasih, untuk mencintai serta merawat semua anak dan
keluarga. Dalam kondisi apapun, dan dalam situasi bagaimanapun. Walau
letih, walau sakit, walau lelah, tanpa berkeluh kesah. Padaha tak jarang
orang-orang yang dicintai menyakiti perasaanya, melukai hatinya.
Airmata
ketabahan, atas kesederhanaan hidup namun tidak membuatnya minder
pergaulan. Apalgi sampai mengurangi husnudzan-nya terhadap Tuhan.
Umpama, tangisan seorang sufi wanita kala suaminya menyimpan sepotong
roti yang hampir basi untuk esok pagi. Airmata yang meleleh di pipi
sebagai tanda kekhawatiran. Jangan-jangan perbuatan suami menunjukkan
sikap bersu’dzan terhadap rezeki dari Allah.
Airmata
ketegaran, saat rumahtangga melewati masa-masa pancaroba, atau hampir
karam oleh badai cobaan. Seperti tangisan bahagia Khansa’ ketika
wafatnya suami dan tiga putera tercinta di medan laga. Syahid demi
membela kekasih sejati: Nabi Muhammad saw. Airmata keperkasaan yang
membuatnya tetap bertahan. Pantang menyerah saat melalui masa-masa
sulit. Kegetiran malah membentuk kepribadian yang tangguh.
Airmata
kesucian, sebagaimana tangisan Aisyah ketika dituduh berselingkuh oleh
kaum munafik, sehingga menimbulkan kisruh di kalangan umat islam, bahkan
Rasul pun hampir terpengaruh. Tapi Allah Mahatahu. Airmata kesucian itu
dikukuhkan kebenarannya dalam Al-Quran.
Airmata
kebijaksanaan yang mampu memberi pengertian dan menyadarkan suami.
Walau, seringkali pula, kebijaksanaan itu akan menguji kesetiaan yang
diberikan kepada suami. Agar tetap berdiri sejajar, saling melengkapi,
dan saling menyayangi.
Aimata
yang bersumber dari airmata kehalusan perasaan, ketika bersentuhan
dengan hal-hal yang mengusik hati nurani, tangisannya bukan karena
kecengengan. Tapi menunjukkan betapa halus dan lembutnya perasaan yang
ia miliki. Wanita berpikir dengan hati dan meraba dengan pikirannya.
Subhanallah!
Di usia pernikahan yang baru seumur jagung, ia telah melihat hampir
semua jenis airmata itu berkumpul pada sosok istri tercinta. Airmata
yang akan terus menetes hingga membasahi hati. Sebagai refleksi atas
ketawadhu’an, qona’ah, dan keistiqomahan diri. Juga menumbuhkan
ketulusan cinta yang luar biasa.
Akhirnya,
ia berani menyatakan, “…andai wanita tanpa airmata, maka dunia akan
berduka cita.” Tiba-tiba sang suami pemula ingin belajar menangis.