Umar bin Khattab pernah meneteskan air
matanya ketika melihat keadaan seorang ibu yang pada malam itu (ketika
Khalifah Umar sedang mengadakan inspeksi malam hendak melihat kondisi
sebenarnya masyarakat yang dipimpinnya) pura-pura memasak untuk
menenangkan anak-anaknya yang terus menangis menahan lapar. Padahal
dalam kuali tersebut hanyalah berisi batu. Menyaksikan hal demikian,
sang khalifah langsung menuju gudang (sejenis bulog) mengambil sekarung
gandum. Masya Allah, dengan tangan dan pundaknya sendiri, beliau membawa
sekarung gandum tersebut untuk diberikan kepada sang ibu tadi.
Makna ruhiyah
Dalam kamus dikemukakan, bahwa ruhiyah
berasal dari kata ruh yang mendapatkan ya’ nisbah menjadi ruhi, yang
memiliki arti ruhani (spiritual) yang merupakan lawan dari kata maadi
atau materi. Kata ruhiyah sering kali diidentikkan dengan nuansa hati
yang penuh terisi dengan nilai-nilai keimanan, sehingga merasakan adanya
ketentraman dan kesejukan jiwa yang memotivasi untuk beramal dalam
mencari ridho Allah. Sehingga pengaruh dari adanya ruhiyah dalam diri
seseorang teraplikasi pada peningkatan aktivitas ibadah dan da’wah,
dalam berbagai bentuknya
Barangkali kita pernah mendapati ada
kader dakwah yang cukup handal dalam pengetahuan dan wawasan
keislamannya namun minus dalam aspek ruhiyah. Pengetahuan dan wawasan
keislamannya hanya mampu memberinya petunjuk tentang sebuah pemecahan
persoalan dan kebenaran tetapi ia tidak mampu menghayati persoalan dan
kebenaran tersebut. Seorang yang minus aspek ruhiyah seperti itu akan
tampak kuat dalam pengembangan penalaran dan intelektualitas, namun
“kering” dalam penjiwaan nuansa-nuansa sentuhan religius. Ia hanya
memiliki kekayaan warna pemikiran, namun miskin dalam emosionalitas
keagamaan yang mampu memberi warna dalam pribadinya. Ketajaman analisis
berpikir yang dimilikinya tidak diikuti dengan kecemerlangan hubungannya
dengan Allah Swt dan ketinggiannya dalam akhlak.
Urgensi tarbiyah ruhiyah
Ruhiyah (ma’nawiyah) adalah aspek yang
harus mendapatkan perhatian khusus oleh setiap muslim. Sebab ruhiyah
menjadi motor utama sisi lainnya, hal ini bisa kita simak dalam firman
Allah Swt di surat Asy-Syams : 7-10 “Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketaqwaannya. Sungguh sangat merugi orang yang mensucikannya dan
sungguh merugilah orang yang mengotorinya,” . Dan dalam surat Al Hadid
ayat 16: “Belumkah datang waktunya untuk orang-orang yang beriman untuk
tunduk hati mereka berdzikir kepada Allah dan kepada kebenaran yang
telah turun kepada mereka dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Alkitab di dalamnya, kemudian berlalulah
masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan
kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik ”. Ayat-ayat
di atas memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya untuk
senantiasa menjaga ruhiyah, kerugian yang besar bagi orang yang
mengotorinya dan peringatan keras agar kita meninggalkan amalan yang
bisa mengeraskan hati. Bahkan tarbiyah ruhiyah adalah dasar dari seluruh
bentuk tarbiyah, menjadi pendorong untuk beramal shaleh dan dia juga
memperkokoh jiwa manusia dalam menyikapi berbagai problematika
kehidupan.
Indikasi ruhiyah yang kuat
Indikasi bahwa seseorang memiliki aspek ruhiyah yang kuat, diantaranya:
1.Adanya sikap ketergantungan yang
sangat tinggi terhadap Allah Swt. Ia menjadikan Allah Swt sebagai
satu-satunya tujuan dalam segala hal yang dibarengi dengan kegigihan dan
kesungguhannya dalam mengerjakan sebuah aktivitas.
2.Ia berupaya keras untuk selalu mengisi
kehidupannya dengan kebajikan dan perbuatan yang bermanfaat. Ia juga
berupaya meninggalkan keburukan dan hal-hal yang tidak berguna.
3.Ia gemar menjalankan ibadah-ibadah
sunnah. Perangainya sangat terjaga dan merupakan cerminan dari akhlak
karimah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
4.Seseorang yang mampu memberi makna
terhadap setiap peristiwa yang terjadi dalam hubungan dirinya dengan
Tuhannya dan segala kekuasaan yang dimiliki-Nya.
5.Ia akan merasakan keberadaan Tuhan dalam berbagai peristiwa yang terjadi dan fakta-fakta yang disaksikannya.
Urgensi ruhiyah
Betapa penting aspek ruhiyah bagi
seorang kader dakwah. Ia mampu menjaga dari rasa frustasi dan putus asa
ketika seseorang mengalami kekecewaan dan kegagalan, menjaga dari
kegembiraan yang berlebihan dan rasa takabur apabila mengalami
keberhasilan, kebahagiaan dan kemenangan, membentengi diri dari rasa
malas berkelanjutan dalam beraktivitas dakwah dan memberikan semangat
keberanian dengan mengharap perlindungan dan pertolongan kepada Allah
Swt.
Ia akan mengobati hati seorang kader
dakwah dari “sakitnya” dan menuntunnya dari gelap gulita kepada
terang-benderang, memberikan kesabaran dan keteguhan untuk tetap
istiqomah dalam berda’wah, memberikan optimisme dan harapan terhadap
masa depan dakwah, membangkitkan semangat berkorban yang tinggi yang
diiringi dengan keyakinan kuat bahwa Allah Swt akan memberikan balasan
yang lebih baik lagi.
Ia akan menggerakkan seorang kader
dakwah untuk menyerap segala pertolongan dan kekuatan dari Allah Swt
melalui segenap perilaku dan keutamaan ibadah-ibadahnya, mengundang
datangnya petunjuk dan bimbingan dari Allah Swt melalui kesungguhan
memohon penjelasan dalam melangkah di jalan da’wah, membangkitkan
simpati dari obyek dakwah bahkan dari musuh dakwah karena keutamaan
perangai dan perilakunya dan mendatangkan segala bantuan dan kelebihan
bagi seorang kader dakwah dalam menjalani dunia dakwahnya.
Apabila organisasi gerakan dakwah
terdiri dari individu-individu yang kuat dalam aspek ruhiyahnya dan
dijadikannya aspek ruhiyah itu sebagai salah satu hal yang diperhatikan,
maka oraginsasi ini akan memiliki kelebihan dan keunggulan dalam
menjalani gerakan dakwahnya. Tidak sedikit pertolongan dan bantuan Allah
Swt akan diberikan kepada organisasi tersebut dalam mencapai
keberhasilan dan kemenangannya. Inilah peran penting aspek ruhiyah bagi
sebuah organisasi gerakan dakwah dan para aktifis dakwah.
Tarbiyah ruhiyah
Agar terbentuk aspek ruhiyah yang kuat
pada seorang kader dakwah, maka diperlukan pembinaan ruhiyah (tarbiyah
ruhiyah) secara berkesinambungan. Karena itu organisasi gerakan dakwah
harus memiliki program pembinaan ruhiyah bagi para kadernya. Pembinaan
ruhiyah ini dapat dilakukan melalui penyampaian materi-materi yang
mengantarkan kepada pemahaman tentang Allah Swt beserta segala sifat dan
kekuasaan-Nya, penjelasan tentang kehidupan akhirat, janji-janji dan
ancaman Allah kepada manusia dan sebagainya.
Pemberian pemahaman harus diiringi
dengan pembiasaan praktek-praktek ibadah (mulai dari yang fardhu sampai
dengan ibadah-ibadah sunnah yang utama), membiasakan untuk introspeksi
diri (muhasabah), pengenalan kekuasaan Allah Swt pada alam semesta
secara langsung dan lainnya yang bersifat praktis. Juga jangan dilupakan
tentang penanaman akhlak karimah dengan segala keutamaannya.
Jika ingin mencapai kelebihan dan
keberhasilan, pembinaan ruhiyah tidak boleh diabaikan oleh gerakan
dakwah. Sekalipun pembinaan ruhiyah bukanlah satu-satunya pembinaan yang
harus dilakukan, namun pengabaian terhadap pembinaan ruhiyah akan
berakibat kepada tidak utuhnya sebuah gerakan dakwah. Agar diperoleh
pribadi-pribadi muslim paripurna sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah
Swt dan Rasul-Nya, maka pembinaan ruhiyah harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya dan secara berkesinambungan.
Namun perlu diingat bahwa untuk mencapai
aspek ruhiyah yang kuat pada seseorang bukanlah pekerjaan yang mudah
dan waktu yang singkat. Gerakan dakwah harus bersungguh-sungguh, penuh
kesabaran yang berkelanjutan dalam melakukan pembinaan ruhiyah terhadap
kader-kadernya. Jerih payah ini suatu saat nanti akan menampakkan hasil.
Ruhiyah qabla dakwah
Ruhiyah adalah bekal yang terbaik bagi
setiap muslim, terutama bagi seorang da’i. Ruhiyah inilah yang akan
memotivasi, menggerakkan dan kemudian menilai setiap perbuatan yang
dilakukannya. Keberadaan ruhiyah yang baik dan stabil menentukan
kualitas kejayaan hidup seseorang, begitu juga dengan dakwah. Sangat
tepat ungkapan yang menyatakan, “Ar-Ruhiyah qablad dakwah kama Annal
Ilma qablal qauli wal amal”. Ungkapan ini merupakan “iqtibas” dari salah
satu judul bab dalam kitab shahih Al-Bukhari, “Berilmu sebelum
berbicara dan beramal, demikian juga memiliki ruhiyah yang baik sebelum
berdakwah dan berjuang”.
Dalam kontek dakwah, menjaga dan
mempertahankan ruhiyah harus sentiasa dilakukan sebelum beranjak ke
medan dakwah, sehingga sangat ironis jika seseorang berdakwah tanpa
mempersiapkan bekal ruhiyah yang maksimum, boleh jadi dakwahnya akan
”hambar” seperti juga ruhiyahnya yang sedang ”kering”.
Allah Swt berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, ruku’lah kalian bersama-sama, sujudlah dan
sembahlah Tuhanmu, kemudian lakukanlah amal kebaikan, dan berjihadlah di
jalan Allah dengan sebenar-benar jihad”. (Al-Hajj: 77-78)
Menurut susunannya, ayat di atas memuat
perintah Allah kepada orang-orang yang beriman berdasarkan skala
kepentingan; diawali dengan perintah menjaga dan memperbaiki kualitas
ruhiyah yang tercermin dalam tiga perintah Allah: ruku’, sujud dan
ibadah, kemudian diiringi dengan menerapkan dari ruhiyah tersebut dalam
bentuk amal dan jihad yang benar. Yang diharapkan dari menjalankan
perintah ayat ini sesuai dengan urutannya adalah agar kita meraih
kemenangan dan keberuntungan dalam seluruh aspek kehidupan, lebih-lebih
lagi urusan yang kental dengan ruhiyah yaitu dakwah. Tentunya susunan
ayat Al-Qur’an yang demikian bijak dan tepat bukan semata-mata hanya
memenuhi aspek keindahan bahasa atau ketepatan makna, namun lebih dari
itu, terdapat hikmah yang layak untuk digali karena susunan ayat atau
surah dalam Al-Qur’an memang bersifat “tauqifiy” (berdasarkan wahyu,
bukan ijtihad).
Tentang pentingnya ruhiyah dalam dakwah
dapat difahami juga dari sejarah turunnya surah Al-Muzzammil. Surah ini
secara hukum dapat dibagikan menjadi dua kelompok:
1.kelompok yang pertama dari awal surah
hingga ayat 19 yang berisi arahan kewajiban shalat malam, tilawah,
zikir, tabattul, sabar dan tawakkal.
2.kelompok kedua yang berisi rukhshah dalam hukum qiyamullail menjadi sunnah mu’akkadah yaitu pada ayat yang terakhir, ayat 20.
Bisa dibayangkan satu tahun lamanya
generasi terbaik dari umat ini melaksanakan kewajiban qiyamullail
layaknya shalat lima waktu semata-mata untuk mengisi dan memperkuat
ruhiyah mereka sebelum segala sesuatunya. Baru di tahun berikutnya turun
rukhshah dalam menjalankan shalat malam yang merupakan inti dari
aktifitas memperkuat ruhiyah. Hal ini dilakukan, karena mereka memang
dipersiapkan untuk mengemban amanah dakwah yang cukup berat dan
berkesinambungan.
Pada tataran aplikasinya, kestabilan
ruhiyah harus diuji dengan dua ujian sekaligus yaitu ujian nikmat dan
ujian cobaan atau musibah. Karena boleh jadi seseorang mampu
mempertahankan ruhiyahnya dalam keadaan susah dan banyak mengalami ujian
dan cobaan, namun saat dalam keadaan lapang dan senang, mudah saja ia
lengah dan lupa dengan tugas utamanya. Inilah yang dikhawatirkan oleh
Rasulullah Saw dalam sabdanya, “Bukanlah kefaqiran yang sangat aku
khwatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khwatir jika
(kemewahan, kesenangan) dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian
karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti yang pernah
terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa
sebagaimana mereka juga binasa karenanya”. (H.R Bukhari dan Muslim).
Maka seorang mukmin yang kualitas ruhiyahnya baik adalah yang mampu
mempertahankannya dalam dua keadaan sekaligus. Demikianlah yang pernah
Rasulullah Saw isyaratkan dalam sabdanya, “Sungguh mempesona keadaan
orang beriman itu, jika ia mendapat anugerah nikmat ia bersyukur dan itu
baik baginya. Namun jika ia ditimpa musibah ia bersabar dan itu juga
baik baginya. Sikap sedemikian ini tidak akan muncul kecuali dari
seorang mukmin”. (H.R Bukhari)
Dalam konteks ini, contoh yang sempurna
adalah Muhammad saw. Beliau mampu memelihara kestabilan ruhiyahnya dalam
keadaan apapun, dalam keadaan suka dan duka, senang dan sukar, ringan
dan berat. Justru, semakin besar nikmat yang diterima seseorang,
semestinya semakin bertambah rasa syukurnya. Semakin besar rasa
syukurnya, maka akan semakin tinggi kekuatan dakwahnya. Begitu
seterusnya sehingga wajar jika Rasulullah tampil sebagai abdan syakuran.
Karena memang demikian jaminan Allah Swt, “Barang siapa yang bersyukur,
maka pada hakikatnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya” (Luqman:
12). Orang yang bersyukur akan memperoleh hasil syukurnya yaitu
kenikmatan ruhiyah yang ditandai dengan hidup menjadi lebih bahagia,
tenteram dan sejahtera. Karena bersyukur hakikatnya adalah untuk dirinya
sendiri.
Dan ternyata kejayaan dakwah Rasulullah
Saw yang diteruskan oleh para sahabatnya sangat ditentukan –selain dari
pertolongan Allah- dengan kekuatan ruhiyahnya. Selain dari qiyamullail
yang menjadi amalan rutin sepanjang masa, cahaya Al-Qur’an juga sentiasa
menyinari hatinya. Allah swt menegaskan dalam firman-Nya, “Dan
sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta
alam. Ia dibawa turun oleh Ar-ruhul Amin (Jibril), ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan”. (Asy-Syu’ara’: 192-194). Demikian persiapan
Muhammad sebelum menjadi rasul yang akan memberi peringatan yang
merupakan tugas yang berat dan mengandung risiko adalah dengan dibekali
Al-Qur’an yang akan sentiasa mengarahkan hatinya.
Dalam hal ini, Yusuf Al-Qardawi pernah
menyatakan dengan tegas rahasia kekuatan Al-Qur’an, “Al-Qur’an adalah
kekuatan Rabbani yang akan menghidupkan hati dan fikiran”. Al-Qur’an
akan sentiasa memancarkan kekuatan Allah yang akan kembali menghidupkan
hati dan fikiran yang sedang dirundung duka dan kemaksiatan. Kekuatan
nabi Muhammad sendiri ada pada kekuatan hatinya yang senantiasa dibantu
dengan cahaya Al-Qur’an. Dan demikian seharusnya, kekuatan dakwah
seseorang ditentukan oleh kekuatan ruhiyahnya, bukan dengan lainnya.
Pada masa yang sama, agar ruhiyah tetap
stabil terpelihara, maka harus dijaga dengan banyak beramal, meskipun
hanya sedikit. Karena amal yang terbaik menurut Rasulullah Saw adalah
amal yang berkesinambungan, “Sebaik-baik amal adalah yang
berkesinambungan meskipun sedikit demi sedikit”. (H.R Tirmidzi). Dalam
konteks ini, inkonsistensi ruhiyah pernah ditegur oleh Rasulullah Saw,
“Janganlah kamu seperti si fulan; dahulu ia rajin qiyamul lail, kemudian
ia tinggalkan”.
Penguatan aspek ruhiyah sebelum yang
lainnya pada hakikatnya merupakan bentuk kewaspadaan seorang mukmin di
hadapan musuh besarnya yaitu syaitan yang seringkali bekerja sama dengan
manusia untuk melancarkan serangannya dan merealisasikan misinya. Tepat
ungkapan Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi: “Syaitan akan sentiasa
mengintai dan mencari titik lemah manusia”. Dengan licik dan komit,
syaitan sentiasa mengincar kelemahan manusia tanpa henti, karena ia tahu
bahwa setiap manusia memiliki kelemahan dan oleh karenanya manusia
diperintahkan untuk berlindung hanya kepada Allah dengan memperkuat
aspek ruhiyahnya.
Jadi aspek ruhiyah selalu menjadi
potensi andalan para pemimpin dakwah yang telah menoreh tinta emas dalam
sejarah dakwah ini. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dalam
kualitas ruhiyah dan amalnya. “Ruhbanun bil Lail wa Fursanun bin
Nahar”. Bisa jadi kelemahan dan kelesuan dakwah memang berpangkal dari
kelemahan dan kelesuan ruhiyah. Saatnya para da’i menyadari kepentingan
ruhiyah sebelum amal dakwah dengan memberi perhatian yang besar tentang
aspek ini dalam pembinaan. Demikianlah memang dakwah mengajar kita
melalui generasi terbaiknya.
Kiat membina ruhiyah
Ada beberapa kiat dalam rangka melatih kekuatan ruhiyah dalam diri kita.
Pertama, tajarrud ‘anid
dunya. Mulai saat ini, pandangan hidup kita terhadap materi keduniaan
harus diubah secara total. Bahwa materi keduniaan (harta benda dan
kedudukan/jabatan) hanyalah alat untuk mencapai tujuan, bukan tujuan
akhir. Sehingga kita tidak menghalalkan segala cara untuk memenuhi
setiap keinginan.
Kedua, senantiasa
menjaga diri agar tetap berada di jalan kebenaran yang telah ditetapkan
Allah dan Rasul-Nya serta waspada terhadap godaan-godaan menggiurkan
yang dapat memalingkan dari jalan-Nya.
Ketiga, memerangi
syetan dengan segala tipu dayanya. Imam Al-Ghazali menempatkan syetan
sebagai musuh utama manusia dalam beribadah mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Syetan akan selalu menggoda manusia dengan berbagai tipu
dayanya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar
senantiasa berlindung dari godaan syetan yang terkutuk.
Keempat, membiasakan diri bangun di tengah malam mengerjakan shalat malam dan berpuasa pada siang harinya.
Kelima, meningkatkan muhasabah, muraqabah, mu’aqabah dan mujahadah dalam rangka meningkatkan ketaqwaan.
Keenam, sering bergaul
dengan masyarakat –terutama masyarakat bawah– sehingga dengan sendirinya
dapat merasakan penderitaan mereka. Dan berusaha dengan sekuat tenaga
turut meringankan beban yang mereka alami. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Oleh : Ustad Salman, MA