Ya sudahlah.. percuma aku berusaha lebih keras lagi, ini sudah takdirku…
Untuk apa menda’wahkan Islam untuk memperbaiki ummat?!
kenyataan bahwa kaum muslim kini terpuruk sudah takdir yang diberikan Allah…
Semua penderitaan kita sudah tertulis di Lauh al-Mahfudz,
jadi walaupun kita terus berjuang merubah kemunkaran, tidak akan ada yang berubah!
kenyataan bahwa kaum muslim kini terpuruk sudah takdir yang diberikan Allah…
Semua penderitaan kita sudah tertulis di Lauh al-Mahfudz,
jadi walaupun kita terus berjuang merubah kemunkaran, tidak akan ada yang berubah!
Sudah garis tangannya si fulan untuk menjadi ustadz yang paham agama,
sedangkan aku garis tangannya menjadi pengusaha,
oleh karena itu bukan urusanku untuk menyampaikan agama Islam..
sedangkan aku garis tangannya menjadi pengusaha,
oleh karena itu bukan urusanku untuk menyampaikan agama Islam..
Rizki itu di tangan Allah, semua sudah ditentukan sebelum kita dilahirkan di dunia,
jadi jangan kuatir dengan rizki, kalau memang rizki itu milik kita,
ia akan datang walaupun kita tidak mengusahakannya…
jadi jangan kuatir dengan rizki, kalau memang rizki itu milik kita,
ia akan datang walaupun kita tidak mengusahakannya…
Kegagalan saya bukanlah kesalahan saya, melainkan sudah takdir dari yang Maha Kuasa…
Kata-kata takdir seringkali membatasi manusia dari melakukan yang terbaik dari dirinya, menjadi yang terbaik, dan merubah sesuatu yang berada di depannya. Kata ini seolah-olah menjadi legitimasi bagi seseorang untuk melakukan aktivitasnya secara minimalis dan menjadi alasan khususnya bagi kaum muslim untuk menghindar dan mengelak dari seruan Tuhan mereka.
Kesalahan pandangan terhadap konsep takdir biasanya dimulai dari
tidak tepatnya seseorang mengartikan ketiga hal yang berkaitan dengan
Allah, yaitu Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz. Mereka yang
berpandangan salah tentang konsep takdir merasa bahwa apa yang mereka
lakukan dan yang terjadi di dunia sudah diketahui oleh Allah sebagai
yang Maha Tahu, sudah dikehendaki Allah sebagai yang Maha Berkehendak
serta sudah tertulis di dalam Lauh al-Mahfudz. Sehingga sebagai manusia,
makhluk yang terbatas, mereka merasa terpaksa berada dalam kondisi yang
memang sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Padahal ketiga hal
tersebut, yaitu Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz tidak
boleh sekali-kali dicampuradukan dengan pembahasan takdir, karena tidak
seorangpun yang mengetahui ilmu Allah, seperti apa Allah berkehendak
atas dirinya, dan juga tidak mengetahui apa yang tertulis di dalam Lauh
al-Mahfudz.
Ada sebuah ilustrasi yang sangat masyhur, adalah seorang pencuri yang
tertangkap dimasa pemerintahan Islam sedang jaya-jayanya. Sang pencuri
ini tengah diproses oleh seorang Hakim. Lalu si pencuri berkata membela
diri ”Wahai tuan hakim, sungguh tidak pantas tuan menghukum saya”, dia
melanjutkan ”karena apa yang saya lakukan ini sesungguhnya sudah
diketahui oleh Allah dan Allah membiarkannya (mengizinkannya), dan
sesungguhnya Allah-lah yang berkehendak atas terjadinya pencurian ini,
dan kita semua tahu, di Lauh al-Mahfudz sesungguhnya telah tertulis
semua aktivitas kita dari mulai dilahirkan sampai kita menemui ajal,
termasuk pencurian ini sesungguhnya telah tertulis di kitab tersebut,
sehingga tidak pantas tuan hakim menjatuhkan hukuman kepada saya, karena
perbuatan ini bukan karena kehendak saya”. Hakim tersebut lalu berfikir
tentang hal tersebut, setelah lama berfikir akhirnya ia mengeluarkan
keputusan untuk menghukum si pencuri itu. ”Baik, masukkan dia kedalam
sel penjara!”, ujarnya. Si pencuri protes kepada tuan hakim dengan
penjelasannya yang panjang lebar tadi, yang intinya adalah pencurian itu
bukan kehendaknya tetapi kehendak Allah, atau sudah nasibnya. Sang
hakim pun berkata dengan tenang ”Sebenarnya saya tidak mau menjatuhkan
hukuman kepadamu, tetapi bagaimana lagi, ini juga kehendak Allah, dan di
Lauh al-Mahfudz juga sudah tertulis pada hari ini dan waktu ini saya
mengeluarkan hukuman penjara bagimu!”
Ilustrasi diatas memberikan kita kejelasan, bahwa si pencuri mencoba
mencampuradukkan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz dalam
pembahasan takdir, sehingga pembahasan takdir menjadi kacau. Dan sampai
sekarangpun masih banyak kelompok atau individu yang salah memahami
konsep takdir, sehingga termasuklah mereka kedalam kaum fatalis, yaitu
kaum yang menganggap bahwa manusia seperti daun yang terombang ambing di
permukaan air, dengan kata lain, manusia tidak mempunyai pilihan untuk
mengarahkan hidupnya. Kaum fatalis ini menganggap masuknya manusia
kedalam surga ataupun kedalam neraka sesungguhnya telah ditentukan sejak
awal, dan manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengubahnya.
Sehingga, jika kita menginginkan untuk berfikir efektif dan
produktif, hendaknya kita tidak boleh mencampuradukkan pembahasan takdir
dengan Ilmu Allah, Kehendak Allah dan Lauh al-Mahfudz. Tidak kita
sangsikan bahwa Allah pasti mengetahui segala sesuatu yang terjadi pada
dunia yang diciptakan-Nya, ia juga mengetahui semua perbuatan hamba-Nya,
baik yang telah kita perbuat, yang sedang kita buat maupun yang akan
kita perbuat. Dan kita pun tahu bahwa apa pun yang menjadi kehendak
Allah pastilah terjadi diatas muka bumi ini. Kita pun yakin bahwa semua
perbuatan kita dari lahir hingga mati sesungguhnya telah tertulis di
Lauh al-Mahfudz. Tetapi, semua itu tidak berarti kita tidak bisa memilih
apa yang kita perbuat. Sebagai contoh, Allah sudah mengetahui dan
berkehendak Anda membaca artikel ini. di Lauh al-Mahfudz pun sudah
tertulis, pada tanggal ini jam sekian Anda membaca sampai pada
pembahasan takdir ini. Tetapi Anda juga ingat bahwa ketika berada di
website ini Anda bisa memilih dengan bebas apakah artikel ini ataukah
artikel lain yang Anda baca. Dengan kata lain, Anda memiliki pilihan
untuk melakukan sesuatu, memilih sesuatu dan menjadi sesuatu. Kehendak
bebas atau kesempatan memilih yang diberikan Allah kepada manusia inilah
yang akhirnya melahirkan konsekuensi logis, yaitu pertanggungjawaban
manusia atas perbuatan-perbuatan yang dipilih olehnya.
Pertanggungjawaban ini di akhirat kita sebut dengan prosesi hisab. Di
dunia pun, sudah sewajarnya bila kita dimintai pertanggungjawaban atas
apa yang dipilihnya.
Pada seorang individu, selain perbuatan-perbuatan atau
kejadian-kejadian yang bisa dipilih dan berada di dalam kendali manusia
untuk memilihnya, ada juga kejadian-kejadian dimana manusia tidak
mempunyai pilihan atasnya, dan dipaksakan terjadi atas manusia itu,
serta sudah ditetapkan atas manusia, baik dia suka maupun tidak,
misalnya manusia pasti akan mati, wanita memiliki kemampuan melahirkan,
pria memiliki kecenderungan kepada wanita, matahari terbit dari timur
dan terbenam di barat, bencana alam yang terjadi dan lain-lain. Dalam
hal ini, Allah tidak memberikan ruang kepada manusia untuk memilih,
sehingga apapun yang terjadi, manusia tidak perlu atau tidak akan
dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi, karena hal itu tidak
dapat dipilihnya. Di dunia pun anda tidak akan dimintai
pertanggungjawaban atas hal yang tidak bisa anda pilih. Misalnya, tidak
seorang pun bertanya kepada Anda, kenapa anda adalah seorang pria? atau
bertanya kepada Anda, mengapa matahari terbit dari timur? Mengapa
manusia akan mati?. Sekali lagi, dalam hal yang tidak bisa kita pilih,
kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang terjadi pada
diri kita maupun orang lain.
Sederhananya adalah, kejadian-kejadian yang terjadi pada manusia bisa
dikelompokkan dalam dua bagian. bagian pertama adalah kejadian yang
terjadi pada diri manusia yang dapat dipilih, bagian kedua adalah
kejadian yang terjadi pada diri manusia yang tidak dapat dipilih, atau
dipaksa terjadi atasnya. Pada bagian pertama, kita bisa memilih
perbuatan atau kejadian sesuai keinginan kita, karena itulah kejadian
itu akan dimintai pertanggungjawaban. Hal ini berarti, menjadi rajin
ataupun menjadi malas, menjadi orang yang amanah atau yang khianat,
menjadi seorang pemarah atau penyabar, menaati perintah Allah atau
membangkangnya adalah sesuatu yang dapat kita pilih.
Sedangkan pada bagian kedua, kita dipaksa menerima kejadian itu dan
tidak diberikan pilihan, inilah yang kita sebut takdir. Dan terhadap
takdir atau ketetapan yang diberikan kepada kita, baik atau burauknya
itu menurut kita, maka kita wajib mengimaninya, dan yakin bahwa itu yang
terbaik untuk kita yang berasal dari Allah swt. Prakteknya dalam
kehidupan sehari-hari, jika sesuatu terjadi atas kita ataupun terhadap
orang lain, dan itu tidak dapat dipilihnya, maka kita tidak boleh protes
atau mengeluh secara berlebihan, serta tidak boleh menyalahkan diri
sendiri atas kejadian itu. Karena itu semua berasal dari Allah, dzat
yang maha memberi ketetapan, dan apa yang diberikan oleh-Nya pasti baik.
Setelah pembahasan ini, kita menyadari bahwa tidak sepatutnya kita
menyalahkan takdir atas kejadian-kejadian yang sebenarnya bisa kita
pilih. Apa yang terjadi di masa yang lalu mungkin beberapa diantaranya
termasuk dalam hal yang bisa kita pilih. Masa depan pun sesungguhnya
bisa kita pilih, ingin menjadi apakah Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar