Menjadi manusia jangan hanya merasa bisa, tapi harus bisa merasa.
Merasa bisa itu penting untuk menghargai kemampuan sendiri dan mendorong diri
untuk mengeksplor potensi yang ada didalamnya untuk mencari dan menemukan
sesuatu. Tapi itu dalam arti yang terukur, tidak boleh sensasional. Karena
pasti akan melahirkan sifat takabur, menepuk dada, sombong, riya, dan
sebagainya. Dan ujung-ujungnya akan membuat kebaikan kita menjadi sia-sia serta
keberadaan kita menjadi penyakit bagi lingkungan sosial. Oleh karenanya merasa
bisa itu diletakkan dalam porsi yang proposional obyektif untuk membangun dan
mengembangkan potensi diri secara berkelanjutan.
Tetapi bisa merasa itu juga jauh lebih penting untuk mewujudkan
rasa dan perilaku kemanusiaan kita pada sesama. Bisa merasa juga
merupakan perubahan perasaan untuk mengikis sifat egois dan individualistik
pada diri kita. Dan selanjutnya membangun sifat sosial untuk empati dan peduli
terhadap orang yang sedang membutuhkan bantuan kita . Disinilah
lahir sifat filantropi (kedermawanan) untuk membagi kebaikan pada sesama.
Kita bersyukur hidup didalam era kemajuan dan kemoderenan, tetapi era ini juga
telah mendepak sejumlah nilai-nilai sakral dalam kehidupan kita.
Katakanlah seperti hilangnya filantropi dan merasa kaya sendiri dengan sifat
individualistiknya. Bisa merasa sepertinya lebih kecil dari pada merasa bisa.
Akibatnya dimana-mana terdapat kekeringan perilaku sosial, yang ada hanyalah
kepentingan pribadi. Bahkan yang paling memprihatinkan kita adalah mencari dan
mendapatkan kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan rakyat/masyarakat.
Atau dengan pengertian lain menjual rakyat untuk memenuhi kebutuhan
pribadi. Mengapa bisa terjadi? Itulah penampakan sinyal dari perasaan yang
rendah sehingga hatinya tumpul, tidak menangkap jeritan dan penderitaan sesama.
Karenanya keberanian memotong antena perasaan pribadi dan mempertinggi antena
perasaan sosial itu lebih penting untuk memperluas kawasan sinyal perasaan
menangkap jeritan manusia semesta. Nabi Saw pernah
mengingatkan kita dalam hadisnya ”Innamatunsharuna, waturzaquna bi
dhuafaikum” Sesungguhnya kamu mendapatkan pertolongan dan mendapat rizki
dari Allah karena doanya orang-orang lemah diantara kamu. “Subhannallah”,
betapa baiknya kaum dhu’afa, kita dengan doa mereka memberikan konstribusi
spiritual dan sosial yang cukup signifikan pada kita yang merasa sebagai
kelompok masyarakat berpunya (the have). Tanpa kita sadari bahwa
yang kita miliki itu adalah pemberian gratis lagi mulia karena do’a dari
kaum yang tidak berpunya (the have not). Bisa kita bayangkan
bagaimana jadinya keberadaan kita kalau kaum dhu’afa semuanya berdo’a
mengutuk kita karena terzalimi?. Tentunya lebih dasyat dari Sunami Aceh.
Oleh karena itu teologi Al-Maun dengan triloginya yaitu: Iman, Ilmu dan Amal
menjadi sangat penting untuk mempertinggi sinyalnya perasaan kita terhadap kaum
dhu’afa. Perhatikan firman Allah: “Taukah kamu orang yang mendustakan Agama?
Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi
makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang sholat. Yaitu orang
yang lalai dari Sholatnya. Orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong
dengan barang berguna” ( Qs Al-Maun: 1-7). Fahami benar-benar maksud ayat
tersebut, kemudian lakukan apa yang kita bisa untuk mereka kaum dhu’afa.
Sehingga paling tidak kita terbebaskan sebagai pendusta agama. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar