Suara hati memang sangat penting. Pendapat apapun yang disampaikan
orang terhadap suatu perkara, suara hati tetap harus lebih diutamakan.
Karena sejatinya, dialah yang paling jernih menentukan langkah yang
benar atau salah.
Ada perkataan Imam Nawawi yang menarik dalam
hal ini. “Jika engkau menerima hadiah dari seorang yang hartanya lebih
banyak berasal dari yang haram, dan hatimu ragu-ragu untuk memakannya
karena ketidakjelasan antara halal dan haramnya makanan tersebut.
Kemudian ada seorang mufti (pemberi fatwa) memberi fatwa halal
dan tidak melarang memakannya, maka status syubhat dari makanan itu
tetap tidak hilang dengan fatwa tersebut." Artinya, meninggalkan makanan
tersebut lebih utama dan lebih menenangkan hati, ketimbang mengikuti
fatwa namun membuat hati gelisah. Begitulah istimewanya hati.
Apa alasannya? Disebutkan dalam kitab Al-Wafi yang
menjelaskan makna hadits Rasulullah dan keterangan Imam Nawawi itu,
segala sesuatu yang membawa ketidaktenangan hati adalah dosa, meskipun
ada fatwa yang menyebutkannya bukan dosa. Karena para mufti mengeluarkan
fatwa berdasarkan masalah yang tampak, bukan masalah yang bersifat
batin. Batin seseorang – yang mendapatkan cahaya Allah dalam hatinya –
lebih diketahui oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. (41-Wafi, 195).
Namun perlu diingat, bahwa penjelasan di atas
tidak berarti bahwa apapun suara hati harus dituruti. Tidak selamanya
ungkapan hati menjadi pembenaran atas segala perkara. Hati bisa
dimintakan fatwa dalam permasalahan yang bersifat umum dan mungkin tidak
dijelaskan secara detail perbedaan dan batasannya dalam nash-nash
al-Qur’an dan sunnah. Dengan kata lain, suara hati tidak boleh
mengalahkan petunjuk dalil yang jelas tertera dalam Al-Qur‘an dan
sunnah. Misalnya saja dalam kasus bolehnya berbuka puasa bagi musafir
dan orang yang sakit, bolehnya mengqasar – memperpendek jumlah raka’at –
shalat dalam perjalanan, dan sebagainya, yang berdiri di atas dalil
syar’i yang jelas. “Bila ada fatwa yang jelas berlandaskan dalil syar’i
maka wajib setiap muslim untuk mengutamakannya, meskipun hal itu tidak
membuat hatinya puas," demikian dijelaskan dalam AI-Wafi.
Allah swt berfirman, "Maka demi Tuhanmu, mereka
(pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu pikirkan dan
mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. An-Nisa: 65)
Ketundukan dan ketaatan menerima ketentuan Allah
yang telah jelas, tetap mendapat kedudukan lebih tinggi dari sekedar
fatwa hati. Di sini, hatilah yang justeru harus tunduk pada tuntunan
Allah dan Rasul-Nya. Sama halnya ketika Rasulullah saw meminta para
sahabat mencukur rambut dan memotong hewan kurban setelah perjanjian
Hudaibiyah. Ketika itu, sebagian sahabat berhenti dan enggan melakukan
perintah Rasul. Tapi, berkat keikhlasan dan kebersihan hati mereka juga,
akhirnya para sahabat menerima perintah Rasulullah dengan lapang dada.
Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mu’min dan tidak
(pula) bagi perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab:
36).
Wallahu a’lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar